Jumat, 17 Agustus 2012

PERJUANGAN ICMI TERHADAP PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA



Drs. Anwar Makkasau, MM
Wakil Sekertaris Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Kabupaten Maros

Pendahuluan
                Perjuangan ICMI lahir pertama kali tahun 1990 atau sudah diakui eksistensinya di Indonesia yang pertama kali terpilih sebagai Ketua Prsedium ICM I adalah Bapak Prof. Dr.IR. B.J. Habibie. Suara bedug bertalu-talu di aula “student center” Universitas Brawijaya, mengiringi terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI). Sesekali terdengar pekik takbir “Allahu Akbar” menyambut detik-detik yang bersejarah. Rasa haru, gembira dan syukur bercampur disanubari Cendekiawan Muslim yang hadir dan menyaksikan peristiwa yang sangat penting di penghujung tahun 1990 itu. Ada yang saling bersalaman, ada yang saling berpelukan, ada pula yang langsung sujud syukur di tempat perhelatan.
Bagaimana mungkin mereka tidak bersyukur, setelah menunggu sekian lama, itupun melalui perjuangan panjang dan berliku, wadah yang didambakan akhirnya terbentuk juga. Uniknya, prakarsa atau pendorong terbentuknya ICMI bukan datang dari kalangan Cendekiawan Muslim sendiri, juga bukan kehendak dari pemerintah, tapi dari lima orang mahasiswa Fakultas Teknik Sipil Angkatan 1987, yang tergabung dalam Unit Kerokhanian Islam Universitas Brawijaya Malang : Erik Salman, Ali Mudzakir, Muhammmad Zaenuri, Awang Surya dan Mohammad Iqbal.
Yang menjadi soal, pertama bagaimana riwayatnya hingga kelima mahasiswa itu mempunyai ide dan mendorong pembentukan ICMI. Kedua, apakah usaha membentuk wadah semacam ICMI itu pernah ada atau tidak, jika ada, siapa saja para perintisnya dan sejauh mana keberhasilannya. Ketiga, apakah momentum kelahiran ICMI merupakan peristiwa yang spontan dan berdiri sendiri, ataukah ada korelasi dan relevansinya dengan perjalanan sejarah sosial politik umat Islam Indonesia ? Biar para pakarlah yang menjawabnya . . .
Berawal dari sebuah diskusi kecil di bulan Februari 1990 di Masjid Kampus Universitas Brawijaya, sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama karena adanya ‘perpecahan” di kalangan cendekiawannya. “Terus terang kami prihatin dengan masa depan umat Islam. Seolah-olah terjadi polarisasi kepemimpinan umat. Ada kelompok Paramadina di Jakarta, Salman di Bandung, Salahuddin di Yogyakarta, Al Falah di Surabaya dan lain-lain . .”ujar Erik Salman yang menjadi juru bicara dari kelima mahasiswa tersebut diatas. Dari sini tercetus keinginan untuk menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempertemukan para cendekiawan Muslim, dengan cara menghadirkan mereka sebagai pembicara dalam suatu simposium. Setelah itu mereka menghadap Rektor Universitas Brawijaya, Drs. ZA Ahmady, MPA untuk berkonsultasi, dan juga meminta saran-saran dari Rektor Unversitas Muhammadiyah Malang, Drs. A. Malik Fajdar, Msc. Oleh Rektor Universitas Brawijaya mereka diminta menyusun proposal dan membentuk kepanitiaan simposium. Tema simposium yang direncanakan : “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas”, dengan ancang-ancang pelaksanaan tanggal 29 September sampai dengan 1 Oktober 1990. tetapi waktu proposal diajukan, Rektor meminta untuk ditunda dulu karena dana yang diperlukan terlalu besar. Namun mereka tidak putus asa, setelah mendapat dukungan sana-sini, mereka berangkat ke Jakarta menemui sejumlah cendekiawan Muslim di sana. Sebulan sebelum dilaksanakan simposium, para mahasiswa itu, dengan merogoh kantong mereka sendiri, berkeliling di Yogyakarta, Jakarta dan Bogor menemui beberapa cendekiawan Muslim yang diharapkan bisa menjadi pembicara. Dari pertemuan dengan antara lain, Imaduddin Abdulrahim dan M. Dawam Rahardjo, keinginan untuk menyelenggarakan simposium itu berkembang jauh hingga muncul ide membentuk wadah cendekiawan Muslim yang berlingkup Nasional. “Saya memang menyarankan kepada para mahasiswa itu untuk mempertemukan para cendekiawan Muslim, supaya terjalin ukhuwah yang mantap di antara mereka dan potensi bisa terhimpun . . .”ujar Dr. Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Beliau setelah mendiskusikan masalah ini dengan M. Dawam Rahardjo, menganjurkan kepada para mahasiswa itu untuk menemui Menristek Prof. Dr. Ing.B.J. Habibie yang sebelumnya direncanakan menjadi salah seorang pembicara. Anjuran ini ternyata klop dengan keinginan para mahasiswa itu sendiri yang mengaku sudah sejak lama mengagumi Habibie. Karena membaca riwayat hidup tokoh ini di majalah “Kiblat”. Tanggal 23 Agustus 1990, kelima mahasiswa itu dengan diantar oleh Imaduddin, M. Dawam Rahardjo, M. Syafii Anwar, menemui Habibie di kantor BPPT jalan MH. Thamrin Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Bang Imad (panggilan akrab Dr. Imaduddin) memulai pembicaraan dan meminta Prof. Dr. B.J. Habibie untuk bisa memimpin wadah cendekiawan Muslim dalam lingkup Nasional. Waktu itu Pak Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia, tetapi sebagai menteri dan juga sebagai pembantu Presiden, beliau harus meminta ijin dari Presiden Soeharto. Habibie juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan bukti dukungan dari beberapa kalangan cendekiawan Muslim. Konsep surat yang isinya mencalonkan Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan Muslim akhirnya dibuat. Kemudian Dawam memberikan kata pengantarnya dan menyusun daftar tokoh-tokoh cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu, untuk dimintai dukungan bersama mahasiswa dan Imaduddin, kelima mahasiswa itu lalu mengedarkannya ke berbagai cendekiawan Muslim di Jakarta, Bogor, Bandung dan Yogyakarta. Setelah diedarkan, ternyata sambutannya di luar dugaan. Sebanyak 49 (Empat Puluh Sembilan) cendekiawan Muslim menyetujui pencalonan Habibie dan membubuhkan tanda tangannya. Dari 49 penanda tangan itu, 45 diantaranya bergelar Doktor dan 2 orang profesor. Pada tanggal 27 September 1990, dalam suatu pertemuan di rumahnya, Habibie memberitahukan bahwa pencalonannya sebagai Ketua Umum direstui oleh Presiden Soeharto. Dalam pertemuan ini Habibie mengusulkan agar wadah cendekiawan Muslim itu dinamakan Ikatan Cendekiawan Muslim se- Indonesia, disingkat ICMI. Juga diberitahukan bahwasannya Habibie bersama enam menteri dan dua orang cendekiawan Muslim telah menghadap Presiden. Dalam pertemuan itu diungkapkan, Presiden merestui simposium dan pembentukan ICMI, sejak saat itu embrio ICMI tumbuh dengan cepat. Tanggal 28 September 1990, sejumlah cendekiawan Muslim bertemu lagi dalam rangka persiapan simposium yang akan diselenggarakan pada bulan Desember 1990. pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk membentuk tiga tim dalam rangka kelahiran ICMI, yakni kerangka acuan dan disain simposium (diketuai M. Dawam Rahardjo), tim program kerja (diketuai Sri Bintang Pamungkas) dan tim Anggaran Dasar (diketuai Muslimin Nasution). Jiga disepakati, simposium yang semula bertema “Sumbangsih Cendekiawan Muslim menuju Era Tinggal Landas”diganti dengan “Simposium Nasional Cendekiawan Muslim : Membangun Masyarakat Abad XXI”. Dalam proses penyelenggaraan simposium serta pembentukan ICMI, telah ikut dilibatkan sejumlah staf BPPT, antara lain Dr. Ir. Wardiman Djojonegoro, Dr. Marwah Daud Ibrahim, Drs. Komaruddin, MA serta Ir. Tasmin dll.


Perjuangan dan Pengembangan
Meskipun belum resmi berdiri, embrio ICMI sudah melangkah jauh. Pertemuan demi pertemuan diadakan baik dalam rangka mematangkan persiapan pembentukan ICMI maupun pelaksanaan simposium. Pada tanggal 26 Oktober 1990, bertempat di Departemen Agama, ketiga tim : kerangka acuan dan disain simposium, program kerja dan anggaran dasar, melaporkan gagasan pembentukan ICMI dalam rapat terbatas antara MUI dan para cendekiawan Muslim. Pertemuan berikutnya diselenggarakan pula pertemuan di Pusat Pengkajian Strategis dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta. Tanggal 25-26 Nopember 1990, sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru itu berkumpul di Tawangmangu Solo, merumuskan beberapa usulan untuk OBHN 1993 dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan Struktur Organisasi ICMI. Sementara itu di Jakarta, tim Anggaran Dasar sejak akhir September melaju dengan rancangannya, setelah digodok dalam beberapa kali pertemuan. Habibie kemudian berdialog dengan ketiga tim di kediamannya selama lebih kurang 7 jam. Ketika segala persiapan sudah dirasa semakin matang, baik untuk simposium dan pembentukan ICMI, pertemuan final diselenggarakan di kantor MUI. Hadir di sini Ketua MUI KH. Hasan Basri, Menteri Agama H. Munawir Sadzali, Menpen Harmoko dan Menristek Habibie sendiri, akhirnya gagasan kelima mahasiswa dari Malang Jawa Timur untuk menyelenggrakan simposium itupun berubah menjadi peristiwa yang bernilai sejarah. Ya, dari Malang babak baru sejarah umat Islam digelar, dengan suasana yang jauh berbeda dari bayangan semula. Tanggal 6 Desember 1990, Presiden Soeharto sendiri dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim” membuka simposium dilanjutkan menabuh bedug sesuai irama ketika suara adzan hendak dikumandangkan. Lihatlah yang hadir dalam pembukaan simposium itu, Mensekneg Moerdiono, Pangab. Jenderal TNI Tri Sutrisno, Mendikbud Fuad Hasan, Menteri Agama Munawir Sadzali, Menpen Harmoko, Menteri KLH Emil Salim, Menhub Azwar Anas dan juga mantan Menko Kesra Alamsyah Ratuperwiranegara, di samping pejabat-pejabat daerah. Acara penutupan simposium tanggal 8 Desember 1990 itu sendiri dilakukan oleh Wakil Presiden Soedarmono. Jarang sekali ada, bahkan belum pernah terjadi suatu simposium cendekiawan Muslim yang dilanjutkan dengan pembentukan ICMI di Malang itu memang sesuatu yang istimewa, baik bagi pemerintah maupun bagi umat Islam. Suasana pada tanggal 6 – 8 Desember 1990 itu telah menggambarkan kemesraan antara Islam dengan pemerintah, tepatnya antara cendekiawan Muslim dengan Pemerintahan Orde Baru. Di sana, dari 465 orang cerdik pandai Muslim dari berbagai aliran, kelompok, profesi dan warna politik menggelar simposium yang diharapkan mampu memberikan sumbangan berharga bagi pembangunan dana lebih dari setengah milyar rupiah suatu jumlah yang memang tidak kecil. Tentu saja bukan soal dana yang membuat simposium itu menjadi istimewa dan bersejarah. Tapi kelahiran ICMI dan dukungan cendekiawan Muslim terhadap seorang Bachrudin Jusuf Habibie, putera pare-pare Sulawesi Selatan, yang lahir pada tanggal 25 Juni 1936 dan menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Ketua BPPT, Ketua BPIS, Direktur IPTN, Direktur PT. PAL dan Ketua Otorita Pulau Batam. Seorang Teknolog dan ahli kontruksi pesawat terbang yang mempunyai reputasi Internasional, dan dikenal sangat dekat dengan Presiden Soeharto. Seorang tokoh yang jika dilihat dari “Social Origin” nya tidak dibesarkan dalam kancah pergerakan organisasi Islam, tetapi dengan kejeniusannya menapak karir dalam teknokrasi dan birokrasi negara. B.J Habibie memang tidak dibesarkan dalam kancah “Ideologis” pergerakan Islam, tetapi mengapa ia didukung dan dipilih untuk menjadi ketua ICMI ? mungkin ini yang disebut oleh Kuntowijoyo dengan “pergeseran konsep kepemimpinan umat”.


Ada bberap program kerja 2011-20016 yang diperhatikan untuk kegiatan al:
1). Revitalisasi organisasi, 2). Kaderisasi anggota, 3). Pengembangan lembaga keuangan mikro dan makro, 4). Pengembangan usaha mandiri, 5). Pengembangan kemitraan dan kesetaraan, 6). Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, 7). Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, 8). Penyelenggaraan publikasi, 9). Pemberian Asistensi, 10). Pemberian Advokasi, 11). Pemberian Fasilitasi, 12) Pemberdayaan perempuan.
Alhamdulillah pada Muhtamar ICMI yang ketiga  di laksanakan di Bogor maka terpilih sebagai ketua Umum Presedium adalah Bapak Dr.Eng Ilham BJ. Habibie untuk meneruskan perjuangan Ayah anda Bpak Prof. BJ. Habibie. Demi untuk mengaktifkan kembali program yang telah dirintis sejak berdirinya ICMI dan yang paling diutamakan program 2011- 2016 adalah terbangunnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat madani yang maju mandiri, sejahterah berbudaya saing dan amanah. Hal ini bisa cepat terwujud apabila digunakan perpustakaan sebagai pusat informasi, gudang ilmu untk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Dengan demikian beberapa program yang telah dicanangkan adalah termasuk pengembangan perpustakaan utamanya berbasis TI yang dikembangkan diperpustakaan Mesjid.







Hal ini yang juga menjadi pertimbangan dalam  melihat program aksi yang dicanangkan ICMI al 1. Bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dilema. Itu yang saya tangkap. Di satu sisi, Insan Cendekia dibangun dengan sebuah cita2 besar untuk menyebarkan sistem pendidikan yang menyeimbangkan antara IPTEK dan IMTAQ ke seluruh Indonesia. Cita2 mulia itu tentunya harus diwujudkan. Namun, di sisi lain, aga


Niat menyebarkan sistem IC pun difollow up oleh ICMI, sebuah ormas yang beranggotakan cendekiawan2 muslim, yang dahulu sempat dikepalai oleh Pak Habibie juga saat membangun IC pertama kali. Akhirnya, disusunlah sebuah memo kesepakatan (MoU, perjanjian, atau apapun namanya) yang berisikan bahwa, ya, sistem IC akan disebarkan sebanyak2nya ke seluruh Indonesia, di mana ICMI berperan sebagai agen penyebar, sementara IC serpong, sebagai pemilik hak nama Insan Cendekiwan
Oleh karena itu ICMI  mengantisipasi ancaman Radialisme dan Eksterimisme sehingga ia berperan sebagai inisiator dan moderator dalam dialog nasional : 1. Antar Organisasi Islam dan antar organisasi umat beragama dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
Mengembangkan kurikulumnya, menyusun sistemnya, dan pada akhirnya, menyematkan nama Insan Cendekia di sekolah itu tanpa pemantauan dan sepengetahuan jajaran MANICS. Kalau teman-teman sudah tau kabarnya, akhirnya satu orang guru pun, dimutasi untuk mengajar di tempat lain. Penyebabnya, di samping hal yang sudah saya sebutkan di atas, sebenarnya karena kesibukan membangun sistem IC di sekolah lain sehingga kinerja dan produktivitas di ICS pun menurun.
Kesimpulan
Pada akhirnya, seperti apa pun program dan kegiatan yang telah disepakati dilaksanakan dengan menempuh pendekatan Fungsionalisasi dan fasilitasi, Institusionalisasi, Desiminasi, Integrasi jaringan dan Mobilisasi yg sesuai AD dan ART ICMI. Kemudian tetap memperhatikan program ICMI yg dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang bersasaran pada peningkatan mutu dan keberlanjutan. Kemudian memperhatikan beberapa program yg bakan dilaksanakan baik jangka pendek meliputi bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta program prioritas tiga tahun kemudian mesjid sebagi tempat untuk mensejaterahkan Ummat. Kemudian juga ICMI  mengantisipasi ancaman Radialisme dan Eksterimisme sehingga ia berperan sebagai inisiator dan moderator dalam dialog nasional : 1. Antar Organisasi Islam dan antar organisasi umat beragama dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)

Daftar Pustaka
Anonin. 2011. Garis besar program kerja ICMI se- Inonesia Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan
           Periode tahun 2011-2016

Anonim. 2010. Wapres Buka Muktamar ICMI Sunday, 05 December 2010 16:11 Media Online Bhirawa
           Bogor, Bhirawa.

Harahap, Syafri. 2010 ICMI Perpustakaan masuk Instansi: Dalam rangka meningkatkan minat baca
                Masyarakat. Badan Arsip dan Perpustakaan Sumateran Utara

ILham  BJ. Habibie. 2011. Pada pemaparan Power Point PROGRAM KERJA ICMI  2010 – 2015
            Musyawarah Wilayah V ICMI ORWIL SULSEL Hotel Horizon, Makassar 24 Mei 2011

Uchrowi, Zaim. 2011. Intellectual muslim - Indonesia
            ICMI Bergerak: lintasan 10 tahun Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia;Zaim    
            Uchrowi;&;Usman Ks;Jakarta;Republika;2000;211p;22 cm;ICMI;Islam and politics –
            Indonesia;Intellectual muslim - Indonesia;Usman, Ks;40.481

0 komentar:

Posting Komentar