Rabu, 24 Juli 2013

STRATEGI MEMBANGUN PERPUSTAKAAN DIGITAL


Strategi Membangun Perpustakaan Digital
Drs. Anwar, MM
Penasehat Komite SMKN I Lau Maros
Pendahuluan
Kemajuan  teknologi  informasi telah memunculkan perpustakaan dalam bentuk baru, yaitu perpustakaan digital. Oleh karena itu, maka pengelola perpustakaan yang memerlukan strategi pemecahan yang dapat diterapkan dalam dunia nyata. Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk membahas tentang bagaimana strategi membangun perpustakaan digital. Perpustakaan digital merupakan tempat penyimpanan koleksi referensi digital seperti jurnal elektronik dan database informasi (Stevenson dan Collin, 2006:57). Saffady dalam Saleh (2010:3) perpustakaan digital merupakan perpustakaan yang mengelola semua atau sebagian yang substansi dari koleksi-koleksinya dalam bentuk komputerisasi sebagai bentuk alternatif, suplemen atau pelengkap terhadap cetakan konvensional dalam bentuk mikro material yang saat ini didominasi koleksi perpustakaan. Pembangunan perpustakaan digital tidak hanya berhenti pada penyediaan koleksi digital beserta infrastruktur pendukungnya. Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan digital juga perlu memperhatikan isu-isu terkait perpustakaan digital. Beberapa isu seperti preservasi digital, hak cipta, plagiarisme, dan kesiapan SDM juga perlu diperhatikan. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai langkah-langkah pembangunan perpustakaan digital serta isu-isu yang terkait seperti yang telah disebutkan di atas.
Dalam hal ini, perpustakaan berusaha untuk berbagi informasi kepada para pemustaka yang membutuhkan. Dalam kasus di atas, pustakawan berfungsi sebagai penyaring. Pustakawan memiliki tugas untuk menyeleksi artikel mana yang akan disetujui untuk ditetapkan sebagai koleksi digital yang akan ditampilkan. Selain itu, pustakawan juga bertugas untuk melengkapi koleksi digital tersebut dengan metadata yang sesuai. Langkah selanjutnya adalah menentukan requirement specification (Tedd dan Large, 2005:193-195). Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam tahap ini adalah menentukan siapa pengguna dari perpustakaan digital yang akan dibangun. Penentuan ini sangat penting dikarenakan masing-masing pengguna akan memiliki kebutuhan informais yang berbeda.
Masing-masing pemustaka yang mengunjungi perpustakaan digital dapat berinteraksi satu sama lain, termasuk dengan pustakawan. Interaksi antar pemustaka diwujudkan melalui fasilitas tagging, review, komentar, like. Selain itu, antar pemustaka dapat berkomunikasi melalui shoutmix dan forum online yang akan disediakan. Sedangkan interaksi dengan pustakawan diwujudkan melalui fasilitas buku tamu dan  online chat.
Selain berinteraksi, pemustaka juga berperan sebagai produsen koleksi digital. Pengadaan koleksi digital tidak hanya berasal dari proses digitasi ataupun dari koleksi digital yang telah dimiliki oleh pustakawan saja. Pemustaka dapat ikut berpartisipasi dalam menyediakan informasi digital yang sesuai dengan visi dan misi perpustakaan. Pemustaka diberi kewenangan untuk mengunggah koleksi digital yang mereka miliki. Hal ini dilakukan, selain untuk mempermudah perolehan koleksi digital, juga untuk mengantisipasi kondisi tertentu yang menyebabkan pemilik koleksi digital tidak dapat menyerahkan koleksi yang mereka miliki ke perpustakaan.
Tidak jarang para dosen ataupun peneliti yang memiliki artikel atau hasil penelitian yang menarik. Namun, karena satu dan lain hal, mereka tidak memiliki waktu untuk menyerahkan tulisan mereka ke perpustakaan. Hal ini menyebabkan perpustakaan menjadi terhambat dalam proses pengadaan koleksi. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menghambat proses pengadaan koleksi digital. Oleh karena itu, dengan adanya fasilitas unggah secara mandiri, diharapkan para peneliti ataupun dosen yang memiliki artikel yang menarik dapat mengunggah tulisan mereka tanpa harus datang ke perpustakaan.Selain itu, pada tahap ini juga perlu ditentukan tools apa saja yang perlu ada pada perpustakaan digital nantinya. Melihat perencanaan di atas, selain menu pencarian dan unduh koleksi digital, maka beberapa tools seperti registrasi, login, komentar, suggestion, tagging, unggah dokumen, unduh dokumen, dan shoutmix perlu disediakan.
Teknologi digital
Yang dimaksud dengan teknologi digital adalah semua teknologi berbasis  binary digit. Yaitu teknologi yang menggunakan nilai digit nol dan satu untuk menghadirkan sinyal atau informasi seperti pada televisi digital misalnya.  Juga pada video game,  kamera video, pemutar musik, telepon seluler, dan komputer. Internet  jelas adalah teknologi digital. Secara umum, “digital” mengacu kepada teknologi yang melibatkan, atau berkaitan dengan, teknologi komputer. Prevalensi pemakaian teknologi-teknologi digital dalam suatu negeri menjadi salah satu pertimbangan  untuk menentukan tahun kelahiran populasi pribumi digital pertama negeri tersebut. Syarat lainnya adalah,  teknologi dimaksud  telah merasuki kehidupan khalayak banyak dan digunakan secara interaktif  antara pemakai yang satu dengan yang lain. Prevalensi pemanfaatan teknologi digital yang interaktif ini menjadi prasyarat terbentuknya budaya baru yang menjadi penanda pribumi digital. Budaya adalah hasil interaksi antarmanusia. Pribumi digital sebagai suatu kelompok dengan budaya tersendiri adalah hasil interaksi antarpemakai teknologi digital. Dengan demikian,  “interaksi”  menjadi prasyarat penting bagi pembentukan pribumi digital. Gadget-gadget digital seperti kamera digital, pemutar musik digital, dan e-reader  secara independen tidak menciptakan budaya  baru yang menjadi pembeda pribumi digital dari yang bukan. Benda-benda itu hanya menjadi bagian dari pembentukan  pribumi digital sebagai suatu budaya karena ada interaksi antarpemakainya. Interaksi  tersebut  menggunakan wadah digital bernama Internet. Internet menjadi sarana  sentral dalam pembentukan populasi pribumi digital. Dengan demikian, prevalensi pemakaian Internet (Internet penetration) menjadi indikator utama dalam menetapkan tahun permulaan lahirnya populasi pribumi digital, di negaeri lain dan di Indonesia. 
Untuk mencegah hal itu tidak sampai terjadi, pustakawan dari populasi pendatang digital harus memahami sifat-sifat pustakawan dari populasi pribumi digital untuk kemudian menekan sifat-sifat yang berdampak negatif dan merangsang sifat-sifat yang berdampak positif terhadap kepustakawanan.Dari sejumlah sifat-sifat pribumi digital uraian Palfrey & Gasser, sifat-sifat  yang paling berimplikasi terhadap kepustakawanan menurut saya adalah masalah penyamaran identitas (dalam dunia maya),  keamanan (informasi), masalah  privacy, plagiarism, sifat-sifat  innovator, agressor, dan  activist, selain masalah mutu dan pembajakan yang sudah disebutkan. Sebaliknya, pustakawan dari populasi pribumi digital perlu memahami pustakawan dari populasi pendatang digital. Pribumi digital memiliki kecakapan digital sedangkan pendatang digital memiliki kebijaksanaan layanan informasi (information service wisdom) yang menghasilkan visi yang lebih luas, jauh, dan holistik tentang  pengembangan layanan perpustakaan.
Menggabungkan kecakapan digital dengan informataion service wisdom  akan menciptakan kepustakawanan transisional (transtitional librarianship) yang tepat arah. Yakni kepustakawanan yang tidak mendadak meninggalkan pemustaka dari populasi pendatang digital ketika mulai merangkul pemustaka dari populasi pribumi digital.  Setelah mempertimbangkan beberapa hal di atas dan menentukan aplikasi mana yang akan digunakan, tahap selanjutnya adalah proses instalasi (Tedd dan Large, 2005:197-200). Tahap ini tidak hanya berhenti ketika aplikasi perpustakaan digital telah berhasil diinstal. Proses penting yang tidak dapat dilupakan adalah training. Pustakawan selaku pengelola perpustakaan digital perlu diajarkan bagaimana cara menggunakan perpustakaan digital yang telah disediakan. Selain itu, pemustaka juga perlu diajarkan bagaimana menggunakan dan mengakses koleksi perpustakaan digital. Proses dokumentasi juga masuk ke dalam tahap instalasi. Untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan proses dalam menjalankan perpustakaan digital, maka perlu adanya manual yang berfungsi sebagai panduan. Proses terpenting dalam tahap ini adalah backup file, database, website, dan software secara berkala. Beberapa pengelola perpustakaan sering melupakan proses backup yang berakibat pada hilangnya data-data penting ketika terjadi suatu kerusakan pada perpustakaan digital. Oleh karena itu, sebaiknya perlu ditentukan jadwal rutin backup data pada perpustakaan digital. Selain proses backup, masalah update software juga perlu diperhatikan. Beberapa vendor, baik feeware maupun freeware melakukan pembaharuan terhadap software yang mereka hasilkan. Oleh karena itu, pengelola perpustakaan digital perlu tahu kapan dan apakah ada update software terbaru sehingga dapat diaplikasikan pada perpustakaan digital yang mereka kelola.Tahap terakhir adalah proses evaluasi (Tedd dan Large, 2005:202). Tahap ini penting dilakukan untuk menjaga stabilitas berjalannya perpustakaan digital. Beberapa teknik evaluasi dapat dilakukan seperti berdasarkan pendapat pengguna ataupun melihat catatan transaksi yang dilakukan oleh pemustaka.
Membangun Perpustakaan digital
Fokus utama dalam membangunan perpustakaan digital adalah untuk memperbaiki akses terhadap informasi dan koleksi perpustakaan (Tedd dan Large, 2005:210). Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan perpustakaan digital adalah preservasi digital. Melalui preservasi digital, maka diharapkan kebertahanan koleksi digital dapat terjamin.
Untuk menjamin keberadaan koleksi digital agar dapat diakses setiap saat, tidak jarang pengelola perpustakaan perlu menyediakan beberapa format yang berbeda, yaitu format master dan turunannya (Pendit, 2009:116). Misalnya, dokumen dalam bentuk tercetak dipindai dalam bentuk gambar digital. Hasil pemindaian tersebut disimpan dalam format TIFF. Hal ini dikarenakan TIFF memiliki resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan format gambar lainnya. Nantinya format inilah yang akan disimpan dan dijadikan sebagai master digital.
Selanjutnya, pengelola perpustakaan digital dapat menurunkan format TIFF ke dalam format JPEG. Format inilah yang nantinya dapat diunggah oleh pemustaka. Pemilihan format ini dikarenakan JPEG cenderung memerlukan kapasitas penyimpanan yang lebih kecil dibandingkan dengan TIFF sehingga dapat mempercepat akses oleh pemustaka. Format lain yang dapat dipilih oleh pustakawan adalah format teks. Sebelum disajikan untuk pemustaka, file master hasil pemindaian terlebih dahulu dirubah menggunakan Optical Character Recognation (OCR) ke dalam bentuk dokumen teks. Selanjutnya, dokumen tersebut dapat diturunkan dalam bentuk PDF atau dapat langsung diunggah ke perpustakaan digital.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka preservasi digital adalah proses backup. Beberapa kejadian seperti hilangnya data yang menyebabkan terhentinya pross pelayanan terjadi akibat kelalaian pengelola perpustakaan dalam membackup data. Oleh karena itu, proses backup perlu dilakukan secara berkala. Dengan demikian, terhambatnya pelayanan akibat kehilangan data dapat segera diatasi. Hal ini dilakukan untuk mempertegas pemberlakuan hak cipta pada dokumen digital yang bersangkutan. 
Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian perpustakaan mengenai siapa pemegang hak cipta suatu dokumen digital masih minim. Hal tersebut menyebabkan dokumen digital yang telah dipublikasikan tidak memiliki pemegang hak cipta yang jelas. Secara tidak langsung, kondisi ini juga akan mendukung terjadinya pelanggaran hak cipta.Untuk itu, perpustakaan digital perlu mencantumkan pernyataan hak cipta dalam setiap dokumen digital yang mereka publikasikan. Dalam hal ini, terdapat beberapa pernyataan hak cipta yang dapat dicantumkan (Schlosser, 2009:378-381), yaitu sebagai berikut:
1. Pernyataan kepemilikan dokumen. Pernyataan ini mengidentifikasikan siapa pemilik sekaligus pemegang hak cipta suatu dokumen digital. Pernyataan ini biasanya diwujudkan dengan kalimat ‘© [nama pemegang hak cipta]’.
2. Pernyataan kepemilikan hak cipta yang samar-samar. Pernyataan ini pada dasarnya sama dengan jenis pernyataan pada poin pertama, namun tidak menyebutkan secara langsung siapa pemilik dokumen digital tersebut. Pernyataan ini biasanya diwujudkan dengan kalimat ‘Hak cipta berada pada pemegang hak cipta yang asli’ atau ‘[nama institusi] hanya memiliki hak cipta terhadap dokumen digital saja’.
3. Pernyataan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pernyataan ini menjelaskan mengenai hak-hak apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemustaka yang mengakses suatu dokumen digital. Pernyataan ini biasanya diwujudkan dalam kalimat ‘Hak cipta ada pada [nama pemegang hak cipta]. Segala bentuk penggandaan atau penyebaran melalui email dan atau website tidak diperbolehkan tanpa ijin tertulis dari pemegang hak cipta. Namun, pengguna diperbolehkan untuk mencetak, mengunduh, atau mengirim melalui email untuk penggunaan pribadi’.
4. Pernyataan yang melindungi perpustakaan dan pemustaka. Hal ini dapat dilakukan jika tidak terdapat kejelasan mengenai siapa pemegang hak cipta terhadap suatu dokumen digital.      Pernyataan ini dapat berupa kalimat ‘Perpustakaan tidak memiliki informasi mengenai status hak cipta terhadap koleksi digital ini, oleh karena itu jika peneliti atau pemustaka mengetahui pemegang hak cipta sebenarnya dari koleksi ini atau memiliki pertanyaan mengenai hak cipta terhadap koleksi ini, maka silahkan hubungi [nama lembaga yang bersangkutan.Masing-masing pernyataan tersebut di atas berlaku untuk jenis dan status dokumen digital yang berbeda. Perpustakaan dapat memilih salah satu dari beberapa peryataan hak cipta di atas sesuai dengan status dokumen digital yang akan mereka publikasikan. Dengan demikian, diharapkan masalah hak cipta dalam pembangunan perpustakaan digital dapat terpecahkan. Sumber Daya Manusia. Setelah mengaplikasikan perpustakaan digital, pimpinan perpustakaan juga perlu memastikan bahwa para pustakawan yang berada di bawah tanggungjawabnya memiliki kecakapan dalam hal teknologi informasi. Hal yang menarik dan dapat dicontoh adalah apa yang telah dilakukan oleh UK Public Libraries. Setelah berhasil membangun perpustakaan digital, pada tahun 2001-2004, lembaga tersebut memfokuskan penggunaan dana yang ada untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang ada (Tedd dan Large, 2005:198). Dalam hal ini, mereka melakukan beberapa program pelatihan berupa:
·      Pelatihan dasar ICT;
·      Pemahaman bagaimana ICT dapat membantu pekerjaan pustakawan;
·      Keamanan dan kesehatan dalam penggunaan ICT;
·      Mengetahui bagaimana cara menemukan sesuatu untuk kepentingan pemustaka;
·      Menggunakan ICT untuk mensupport pemustaka dalam mengembangkan kegiatan mereka;
·      Menggunakan ICT untuk mensupport pemustaka untuk melakukan pembelakaran yang efektif;
·      Menjamin adanya manajemen ICT yang efektif di perpustakaan;
·      Bagaimana cara penggunaan ICT untuk memperbaiki profesionalitas dan untuk mengurangi beban birokrasi dan administrasi.
Selain beberapa hal di atas, juga diperlukan beberapa pengetahuan tambahan untuk masing-masing pustakawan seperti:
·      Net Navigator–kemampuan dalam hal advanced searching, validasi website, dan menggunakan sinyal-sinyal pelayanan;
·      Information Technology Gatekeeper–kemampuan desain web, mengunggah dan memperbaharui informasi, menseting dan mengelola database;
·      Information Consultant–menganalisa dan mendiagnosa kebutuhan pemustaka, sadar akan sumber-sumber informasi, membangun hubungan dengan penyedia informasi lain, desain informasi dan kemampuan presentasi;
·      Information Manager–perencanaan strategis, memahami isu-isu digitasi, hak cipta, dan hak kekayaan intelektual lainnya;
·      Educator–mendesain dan mengembangkan pelatihan dan materi pelatihan untuk staff lain dan pemustaka (Tedd dan Large, 2005:198).
Penutup
           Membangun perpustakaan digital perlu wawasan yang luas dan menguasai TI, sehingga tidak hanya terhenti pada proses implementasi saja. Proses evaluasi juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai isu-isu terkait dengan pembangunan perpustakaan digital. Di satu sisi pustakawan perlu mempersiapkan perpustakaan masa depan yang berorientasi kepada pemustaka pribumi digital yang jumlahnya tumbuh pesat. Di sisi lain, mereka juga masih harus memelihara perpustakaan yang  berorientasi kepada  pemustaka pendatang digital karena jumlah mereka masih banyak. Inilah tantangan bagi pustakawan untuk menjaga keseimbangan antara konservatisme dan progresivisme dalam pengembangan perpustakaan di masa transisi menuju kepustakawanan digital.
Daftar Pustaka
Arianto, M. Solihin. 2008. “Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Pengembangan local content berbasis open source” Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Perpustakaan pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI, 2 - 4 Desember 2008, Cimanggis, Depok.
Harris, Lesley Ellen. 2004. "Colleges, Code, and Copyright. (cover story)." Information Today 21, no. 9 (October 2004): 1-30. Library, Information Science & Technology Abstracts, EBSCOhost (Diakses pada 17 Juli 2011).
Mafar, Fiqru. 2012. Isu StrategI Pembangunan Perpustakaan Digital: Majalah Visi Pustaka, Vol.14 No.1 - April 2012.
Simanjunta, Melling. 2012.  Pertambahan Pesat Populasi Pribumi Digital Indonesia dan Implikasinya Terhadap Kepustakawanan Pendatang Digital. Majalah Visi Pustaka Vol.14 No.1 - April 2012.
Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital: Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta: Cita Karya Karsa.
Presiden Republik Indonesia. 2002. “Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta” dalam http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=5011/ diakses pada 20 Juli 2011 pukul 08:52 WIB.
Saleh, Abdul Rahman. 2010. Membangun Perpustakaan Digital: Step by step. Jakarta: Sagung Seto.
Schlosser, Melanie. 2009. “Unless Otherwise Indicated: Survey of copyright statements on digital library collections”. Dalam College & Research Libraries, Vol. 70 Issue 4 Juli 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

0 komentar:

Posting Komentar