Berkunjung ke National Library of Singapore

Didepan Perpustakaan Nasional Singapura.

Berkunjung ke Singapura

Berpose di Depan Patung Singa di Singapura.

Kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke Perpustakaan Digital Balitsereal Maros

Bersama Wapres Jusuf Kalla saat beliau berkunjung ke Perpustakaan Digital Balitsereal Maros.

Ujian Tesis Pasca Sarjana

Mempertahankan Tesis S2 di Pasca Sarjana Patria Artha Makassar.

Pegawai Teladan

Mendapat Penghargaan sebagai Pegawai Teladan.

Rabu, 24 Juli 2013

STRATEGI MEMBANGUN PERPUSTAKAAN DIGITAL


Strategi Membangun Perpustakaan Digital
Drs. Anwar, MM
Penasehat Komite SMKN I Lau Maros
Pendahuluan
Kemajuan  teknologi  informasi telah memunculkan perpustakaan dalam bentuk baru, yaitu perpustakaan digital. Oleh karena itu, maka pengelola perpustakaan yang memerlukan strategi pemecahan yang dapat diterapkan dalam dunia nyata. Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk membahas tentang bagaimana strategi membangun perpustakaan digital. Perpustakaan digital merupakan tempat penyimpanan koleksi referensi digital seperti jurnal elektronik dan database informasi (Stevenson dan Collin, 2006:57). Saffady dalam Saleh (2010:3) perpustakaan digital merupakan perpustakaan yang mengelola semua atau sebagian yang substansi dari koleksi-koleksinya dalam bentuk komputerisasi sebagai bentuk alternatif, suplemen atau pelengkap terhadap cetakan konvensional dalam bentuk mikro material yang saat ini didominasi koleksi perpustakaan. Pembangunan perpustakaan digital tidak hanya berhenti pada penyediaan koleksi digital beserta infrastruktur pendukungnya. Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan digital juga perlu memperhatikan isu-isu terkait perpustakaan digital. Beberapa isu seperti preservasi digital, hak cipta, plagiarisme, dan kesiapan SDM juga perlu diperhatikan. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai langkah-langkah pembangunan perpustakaan digital serta isu-isu yang terkait seperti yang telah disebutkan di atas.
Dalam hal ini, perpustakaan berusaha untuk berbagi informasi kepada para pemustaka yang membutuhkan. Dalam kasus di atas, pustakawan berfungsi sebagai penyaring. Pustakawan memiliki tugas untuk menyeleksi artikel mana yang akan disetujui untuk ditetapkan sebagai koleksi digital yang akan ditampilkan. Selain itu, pustakawan juga bertugas untuk melengkapi koleksi digital tersebut dengan metadata yang sesuai. Langkah selanjutnya adalah menentukan requirement specification (Tedd dan Large, 2005:193-195). Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam tahap ini adalah menentukan siapa pengguna dari perpustakaan digital yang akan dibangun. Penentuan ini sangat penting dikarenakan masing-masing pengguna akan memiliki kebutuhan informais yang berbeda.
Masing-masing pemustaka yang mengunjungi perpustakaan digital dapat berinteraksi satu sama lain, termasuk dengan pustakawan. Interaksi antar pemustaka diwujudkan melalui fasilitas tagging, review, komentar, like. Selain itu, antar pemustaka dapat berkomunikasi melalui shoutmix dan forum online yang akan disediakan. Sedangkan interaksi dengan pustakawan diwujudkan melalui fasilitas buku tamu dan  online chat.
Selain berinteraksi, pemustaka juga berperan sebagai produsen koleksi digital. Pengadaan koleksi digital tidak hanya berasal dari proses digitasi ataupun dari koleksi digital yang telah dimiliki oleh pustakawan saja. Pemustaka dapat ikut berpartisipasi dalam menyediakan informasi digital yang sesuai dengan visi dan misi perpustakaan. Pemustaka diberi kewenangan untuk mengunggah koleksi digital yang mereka miliki. Hal ini dilakukan, selain untuk mempermudah perolehan koleksi digital, juga untuk mengantisipasi kondisi tertentu yang menyebabkan pemilik koleksi digital tidak dapat menyerahkan koleksi yang mereka miliki ke perpustakaan.
Tidak jarang para dosen ataupun peneliti yang memiliki artikel atau hasil penelitian yang menarik. Namun, karena satu dan lain hal, mereka tidak memiliki waktu untuk menyerahkan tulisan mereka ke perpustakaan. Hal ini menyebabkan perpustakaan menjadi terhambat dalam proses pengadaan koleksi. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menghambat proses pengadaan koleksi digital. Oleh karena itu, dengan adanya fasilitas unggah secara mandiri, diharapkan para peneliti ataupun dosen yang memiliki artikel yang menarik dapat mengunggah tulisan mereka tanpa harus datang ke perpustakaan.Selain itu, pada tahap ini juga perlu ditentukan tools apa saja yang perlu ada pada perpustakaan digital nantinya. Melihat perencanaan di atas, selain menu pencarian dan unduh koleksi digital, maka beberapa tools seperti registrasi, login, komentar, suggestion, tagging, unggah dokumen, unduh dokumen, dan shoutmix perlu disediakan.
Teknologi digital
Yang dimaksud dengan teknologi digital adalah semua teknologi berbasis  binary digit. Yaitu teknologi yang menggunakan nilai digit nol dan satu untuk menghadirkan sinyal atau informasi seperti pada televisi digital misalnya.  Juga pada video game,  kamera video, pemutar musik, telepon seluler, dan komputer. Internet  jelas adalah teknologi digital. Secara umum, “digital” mengacu kepada teknologi yang melibatkan, atau berkaitan dengan, teknologi komputer. Prevalensi pemakaian teknologi-teknologi digital dalam suatu negeri menjadi salah satu pertimbangan  untuk menentukan tahun kelahiran populasi pribumi digital pertama negeri tersebut. Syarat lainnya adalah,  teknologi dimaksud  telah merasuki kehidupan khalayak banyak dan digunakan secara interaktif  antara pemakai yang satu dengan yang lain. Prevalensi pemanfaatan teknologi digital yang interaktif ini menjadi prasyarat terbentuknya budaya baru yang menjadi penanda pribumi digital. Budaya adalah hasil interaksi antarmanusia. Pribumi digital sebagai suatu kelompok dengan budaya tersendiri adalah hasil interaksi antarpemakai teknologi digital. Dengan demikian,  “interaksi”  menjadi prasyarat penting bagi pembentukan pribumi digital. Gadget-gadget digital seperti kamera digital, pemutar musik digital, dan e-reader  secara independen tidak menciptakan budaya  baru yang menjadi pembeda pribumi digital dari yang bukan. Benda-benda itu hanya menjadi bagian dari pembentukan  pribumi digital sebagai suatu budaya karena ada interaksi antarpemakainya. Interaksi  tersebut  menggunakan wadah digital bernama Internet. Internet menjadi sarana  sentral dalam pembentukan populasi pribumi digital. Dengan demikian, prevalensi pemakaian Internet (Internet penetration) menjadi indikator utama dalam menetapkan tahun permulaan lahirnya populasi pribumi digital, di negaeri lain dan di Indonesia. 
Untuk mencegah hal itu tidak sampai terjadi, pustakawan dari populasi pendatang digital harus memahami sifat-sifat pustakawan dari populasi pribumi digital untuk kemudian menekan sifat-sifat yang berdampak negatif dan merangsang sifat-sifat yang berdampak positif terhadap kepustakawanan.Dari sejumlah sifat-sifat pribumi digital uraian Palfrey & Gasser, sifat-sifat  yang paling berimplikasi terhadap kepustakawanan menurut saya adalah masalah penyamaran identitas (dalam dunia maya),  keamanan (informasi), masalah  privacy, plagiarism, sifat-sifat  innovator, agressor, dan  activist, selain masalah mutu dan pembajakan yang sudah disebutkan. Sebaliknya, pustakawan dari populasi pribumi digital perlu memahami pustakawan dari populasi pendatang digital. Pribumi digital memiliki kecakapan digital sedangkan pendatang digital memiliki kebijaksanaan layanan informasi (information service wisdom) yang menghasilkan visi yang lebih luas, jauh, dan holistik tentang  pengembangan layanan perpustakaan.
Menggabungkan kecakapan digital dengan informataion service wisdom  akan menciptakan kepustakawanan transisional (transtitional librarianship) yang tepat arah. Yakni kepustakawanan yang tidak mendadak meninggalkan pemustaka dari populasi pendatang digital ketika mulai merangkul pemustaka dari populasi pribumi digital.  Setelah mempertimbangkan beberapa hal di atas dan menentukan aplikasi mana yang akan digunakan, tahap selanjutnya adalah proses instalasi (Tedd dan Large, 2005:197-200). Tahap ini tidak hanya berhenti ketika aplikasi perpustakaan digital telah berhasil diinstal. Proses penting yang tidak dapat dilupakan adalah training. Pustakawan selaku pengelola perpustakaan digital perlu diajarkan bagaimana cara menggunakan perpustakaan digital yang telah disediakan. Selain itu, pemustaka juga perlu diajarkan bagaimana menggunakan dan mengakses koleksi perpustakaan digital. Proses dokumentasi juga masuk ke dalam tahap instalasi. Untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan proses dalam menjalankan perpustakaan digital, maka perlu adanya manual yang berfungsi sebagai panduan. Proses terpenting dalam tahap ini adalah backup file, database, website, dan software secara berkala. Beberapa pengelola perpustakaan sering melupakan proses backup yang berakibat pada hilangnya data-data penting ketika terjadi suatu kerusakan pada perpustakaan digital. Oleh karena itu, sebaiknya perlu ditentukan jadwal rutin backup data pada perpustakaan digital. Selain proses backup, masalah update software juga perlu diperhatikan. Beberapa vendor, baik feeware maupun freeware melakukan pembaharuan terhadap software yang mereka hasilkan. Oleh karena itu, pengelola perpustakaan digital perlu tahu kapan dan apakah ada update software terbaru sehingga dapat diaplikasikan pada perpustakaan digital yang mereka kelola.Tahap terakhir adalah proses evaluasi (Tedd dan Large, 2005:202). Tahap ini penting dilakukan untuk menjaga stabilitas berjalannya perpustakaan digital. Beberapa teknik evaluasi dapat dilakukan seperti berdasarkan pendapat pengguna ataupun melihat catatan transaksi yang dilakukan oleh pemustaka.
Membangun Perpustakaan digital
Fokus utama dalam membangunan perpustakaan digital adalah untuk memperbaiki akses terhadap informasi dan koleksi perpustakaan (Tedd dan Large, 2005:210). Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan perpustakaan digital adalah preservasi digital. Melalui preservasi digital, maka diharapkan kebertahanan koleksi digital dapat terjamin.
Untuk menjamin keberadaan koleksi digital agar dapat diakses setiap saat, tidak jarang pengelola perpustakaan perlu menyediakan beberapa format yang berbeda, yaitu format master dan turunannya (Pendit, 2009:116). Misalnya, dokumen dalam bentuk tercetak dipindai dalam bentuk gambar digital. Hasil pemindaian tersebut disimpan dalam format TIFF. Hal ini dikarenakan TIFF memiliki resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan format gambar lainnya. Nantinya format inilah yang akan disimpan dan dijadikan sebagai master digital.
Selanjutnya, pengelola perpustakaan digital dapat menurunkan format TIFF ke dalam format JPEG. Format inilah yang nantinya dapat diunggah oleh pemustaka. Pemilihan format ini dikarenakan JPEG cenderung memerlukan kapasitas penyimpanan yang lebih kecil dibandingkan dengan TIFF sehingga dapat mempercepat akses oleh pemustaka. Format lain yang dapat dipilih oleh pustakawan adalah format teks. Sebelum disajikan untuk pemustaka, file master hasil pemindaian terlebih dahulu dirubah menggunakan Optical Character Recognation (OCR) ke dalam bentuk dokumen teks. Selanjutnya, dokumen tersebut dapat diturunkan dalam bentuk PDF atau dapat langsung diunggah ke perpustakaan digital.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka preservasi digital adalah proses backup. Beberapa kejadian seperti hilangnya data yang menyebabkan terhentinya pross pelayanan terjadi akibat kelalaian pengelola perpustakaan dalam membackup data. Oleh karena itu, proses backup perlu dilakukan secara berkala. Dengan demikian, terhambatnya pelayanan akibat kehilangan data dapat segera diatasi. Hal ini dilakukan untuk mempertegas pemberlakuan hak cipta pada dokumen digital yang bersangkutan. 
Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian perpustakaan mengenai siapa pemegang hak cipta suatu dokumen digital masih minim. Hal tersebut menyebabkan dokumen digital yang telah dipublikasikan tidak memiliki pemegang hak cipta yang jelas. Secara tidak langsung, kondisi ini juga akan mendukung terjadinya pelanggaran hak cipta.Untuk itu, perpustakaan digital perlu mencantumkan pernyataan hak cipta dalam setiap dokumen digital yang mereka publikasikan. Dalam hal ini, terdapat beberapa pernyataan hak cipta yang dapat dicantumkan (Schlosser, 2009:378-381), yaitu sebagai berikut:
1. Pernyataan kepemilikan dokumen. Pernyataan ini mengidentifikasikan siapa pemilik sekaligus pemegang hak cipta suatu dokumen digital. Pernyataan ini biasanya diwujudkan dengan kalimat ‘© [nama pemegang hak cipta]’.
2. Pernyataan kepemilikan hak cipta yang samar-samar. Pernyataan ini pada dasarnya sama dengan jenis pernyataan pada poin pertama, namun tidak menyebutkan secara langsung siapa pemilik dokumen digital tersebut. Pernyataan ini biasanya diwujudkan dengan kalimat ‘Hak cipta berada pada pemegang hak cipta yang asli’ atau ‘[nama institusi] hanya memiliki hak cipta terhadap dokumen digital saja’.
3. Pernyataan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pernyataan ini menjelaskan mengenai hak-hak apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pemustaka yang mengakses suatu dokumen digital. Pernyataan ini biasanya diwujudkan dalam kalimat ‘Hak cipta ada pada [nama pemegang hak cipta]. Segala bentuk penggandaan atau penyebaran melalui email dan atau website tidak diperbolehkan tanpa ijin tertulis dari pemegang hak cipta. Namun, pengguna diperbolehkan untuk mencetak, mengunduh, atau mengirim melalui email untuk penggunaan pribadi’.
4. Pernyataan yang melindungi perpustakaan dan pemustaka. Hal ini dapat dilakukan jika tidak terdapat kejelasan mengenai siapa pemegang hak cipta terhadap suatu dokumen digital.      Pernyataan ini dapat berupa kalimat ‘Perpustakaan tidak memiliki informasi mengenai status hak cipta terhadap koleksi digital ini, oleh karena itu jika peneliti atau pemustaka mengetahui pemegang hak cipta sebenarnya dari koleksi ini atau memiliki pertanyaan mengenai hak cipta terhadap koleksi ini, maka silahkan hubungi [nama lembaga yang bersangkutan.Masing-masing pernyataan tersebut di atas berlaku untuk jenis dan status dokumen digital yang berbeda. Perpustakaan dapat memilih salah satu dari beberapa peryataan hak cipta di atas sesuai dengan status dokumen digital yang akan mereka publikasikan. Dengan demikian, diharapkan masalah hak cipta dalam pembangunan perpustakaan digital dapat terpecahkan. Sumber Daya Manusia. Setelah mengaplikasikan perpustakaan digital, pimpinan perpustakaan juga perlu memastikan bahwa para pustakawan yang berada di bawah tanggungjawabnya memiliki kecakapan dalam hal teknologi informasi. Hal yang menarik dan dapat dicontoh adalah apa yang telah dilakukan oleh UK Public Libraries. Setelah berhasil membangun perpustakaan digital, pada tahun 2001-2004, lembaga tersebut memfokuskan penggunaan dana yang ada untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang ada (Tedd dan Large, 2005:198). Dalam hal ini, mereka melakukan beberapa program pelatihan berupa:
·      Pelatihan dasar ICT;
·      Pemahaman bagaimana ICT dapat membantu pekerjaan pustakawan;
·      Keamanan dan kesehatan dalam penggunaan ICT;
·      Mengetahui bagaimana cara menemukan sesuatu untuk kepentingan pemustaka;
·      Menggunakan ICT untuk mensupport pemustaka dalam mengembangkan kegiatan mereka;
·      Menggunakan ICT untuk mensupport pemustaka untuk melakukan pembelakaran yang efektif;
·      Menjamin adanya manajemen ICT yang efektif di perpustakaan;
·      Bagaimana cara penggunaan ICT untuk memperbaiki profesionalitas dan untuk mengurangi beban birokrasi dan administrasi.
Selain beberapa hal di atas, juga diperlukan beberapa pengetahuan tambahan untuk masing-masing pustakawan seperti:
·      Net Navigator–kemampuan dalam hal advanced searching, validasi website, dan menggunakan sinyal-sinyal pelayanan;
·      Information Technology Gatekeeper–kemampuan desain web, mengunggah dan memperbaharui informasi, menseting dan mengelola database;
·      Information Consultant–menganalisa dan mendiagnosa kebutuhan pemustaka, sadar akan sumber-sumber informasi, membangun hubungan dengan penyedia informasi lain, desain informasi dan kemampuan presentasi;
·      Information Manager–perencanaan strategis, memahami isu-isu digitasi, hak cipta, dan hak kekayaan intelektual lainnya;
·      Educator–mendesain dan mengembangkan pelatihan dan materi pelatihan untuk staff lain dan pemustaka (Tedd dan Large, 2005:198).
Penutup
           Membangun perpustakaan digital perlu wawasan yang luas dan menguasai TI, sehingga tidak hanya terhenti pada proses implementasi saja. Proses evaluasi juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai isu-isu terkait dengan pembangunan perpustakaan digital. Di satu sisi pustakawan perlu mempersiapkan perpustakaan masa depan yang berorientasi kepada pemustaka pribumi digital yang jumlahnya tumbuh pesat. Di sisi lain, mereka juga masih harus memelihara perpustakaan yang  berorientasi kepada  pemustaka pendatang digital karena jumlah mereka masih banyak. Inilah tantangan bagi pustakawan untuk menjaga keseimbangan antara konservatisme dan progresivisme dalam pengembangan perpustakaan di masa transisi menuju kepustakawanan digital.
Daftar Pustaka
Arianto, M. Solihin. 2008. “Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Pengembangan local content berbasis open source” Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan Perpustakaan pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI, 2 - 4 Desember 2008, Cimanggis, Depok.
Harris, Lesley Ellen. 2004. "Colleges, Code, and Copyright. (cover story)." Information Today 21, no. 9 (October 2004): 1-30. Library, Information Science & Technology Abstracts, EBSCOhost (Diakses pada 17 Juli 2011).
Mafar, Fiqru. 2012. Isu StrategI Pembangunan Perpustakaan Digital: Majalah Visi Pustaka, Vol.14 No.1 - April 2012.
Simanjunta, Melling. 2012.  Pertambahan Pesat Populasi Pribumi Digital Indonesia dan Implikasinya Terhadap Kepustakawanan Pendatang Digital. Majalah Visi Pustaka Vol.14 No.1 - April 2012.
Pendit, Putu Laxman. 2009. Perpustakaan Digital: Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta: Cita Karya Karsa.
Presiden Republik Indonesia. 2002. “Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta” dalam http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=5011/ diakses pada 20 Juli 2011 pukul 08:52 WIB.
Saleh, Abdul Rahman. 2010. Membangun Perpustakaan Digital: Step by step. Jakarta: Sagung Seto.
Schlosser, Melanie. 2009. “Unless Otherwise Indicated: Survey of copyright statements on digital library collections”. Dalam College & Research Libraries, Vol. 70 Issue 4 Juli 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Memaknai Budaya Baca


Drs. Anwar, MM
Badan Pengawas PKP-RI Kabupaten Maros
Pendahuluan
            Kebiasaan membaca sudah sering kita dengar, dimanapun kita berada selalu mempergunakan waktu luangnya untuk membaca. "Minat baca" perlu dilakukan setidaknya untuk keperluan praktis : sebagai landasan dalam melancarkan upaya promosi kebiasaan membaca. Definisi minat adalah dorongan hati yang tinggi untuk melakukan sesuatu, maka "minat baca" adalah dorongan hati yang tinggi untuk membaca. Keinginan membaca bukan karena faktor eksternal sebagai pemaksa untuk membaca, melainkan karena ada faktor internal sebagai pendorong untuk membaca. Motif kebiasaan membaca ada dua, pertama pengalaman mengasyikkan dari membaca itu sendiri (reading for reading) dan kedua pengetahuan dan pembelajaran untuk memenuhi tuntutan pendidikan, tuntutan pekerjaan dan tuntutan hidup. Memperhatikan tulisan Andi Prastowo 2012 dalam pendapat Ibrahim Bafadal. Pembinaan dan pengembangan minat baca adalah usaha memelihara, mempertahankan, dan meningkatkan minat baca yang memiliki kecenderungan-kecenderungan atau terdensi tertentu.
            Kunci kesuksesan belajar adalah membaca dan salah satu sarana belajar adalah diperpustakaan. Pertanyaan adalah apakah sebagian besar waktu kita kita pergunakan untuk membaca? Padahal banyak orang sukses melalui banyak membaca baik dari segi bisnis seperti pelaku koperasi, ekonomi maupun berbagai bidang lain. Oleh karena itu eksistensinya sebagai seorang anggota masyarakat yang berperadaban untuk memperoleh informasi terbaru, memperluas wawasan, menambah pengetahuan yang diharapkan berguna bagi perkembangan dirinya dan atau memenuhi kebutuhan dasar psikologisnya untuk berfikir  dan beriminjinasi.
                Minat baca telah menjadi pembicaraan hangat di kalangan pemerhati pendidikan, pemerhati perpustakaan, pustakawan, penerbit, dan masyarakat pada umumnya.  Selama dua dekade terakhir banyak tulisan diterbitkan di majalah, di surat kabar, maupun di situs Internet;  banyak talk show disiarkan radio maupun televisi; dan puluhan seminar atau sejenisnya telah dilangsungkan oleh mereka yang prihatin akan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Juga sejumlah penelitian telah dilakukan mengenai minat baca. Sayangnya, semua itu  tampak tidak efektif. Minat baca kita masih tetap terpuruk. Lebih sayang lagi,  belum terlihat adanya kesamaan pemahaman tentang minat baca itu sendiri. Setelah membaca tulisan di surat kabar, majalah, makalah seminar dan laporan penelitian, kita bisa menyimpulkan bahwa para penulisnya tidak membedakan antara minat baca, dari kebiasaan baca,  dan budaya baca. Dari berbagai Setelah mendengarkan sejumlah talk show  kita bisa  dapat menyimpulkan bahwa pada umumnya pembicaranya mencampuradukkan pengertian saling mempertukarkan istilah minat baca, kebiasaan membaca, dan budaya baca.   Tulisan ini berupaya memaknai “minat baca”  dan menarik garis pemisah antara minat baca, kebiasaan membaca, dan budaya membaca. Meski tidak dapat ditarik garis pemisah yang tegas setegas garis tepi pada buku tulis, pemisahan itu janganlah ditepis. Garis pemisah antara ketiga istilah itu perlu ditarik walau terpaksa samar, karena dengan begitulah masalah minat baca bisa dengan jelas dipapar, dan langkah-langkah untuk mengatasinyapun bisa digelar.
Budaya Baca
            Masyarakat Indonesia mengenal budaya baca masih sangat rendah atau sangat memprihatinkan. Banyak faktor kenapa keadaan  yang memperhatinkan masih terjadi? Menurut Muhammad  Asroruddin, 2006. Alasan pertama adalah budaya yang sudah ada secara turu temurun. Kedua adalah penghasilan kebanyakan masyarakat Indonesia masih rendah sehingga buku masih dianggap barang mahal. Ketiga adalah sistem pendidikan di Indonesia belum menunjang tumbuh kembangnya budaya bac karena orientasinya memca untuk lulus bukan membaca untuk pencerhan sepanjang hidu. Keempat adalah keberadan perpustakaan belum memadai. Kesan masyarakat umum untuk perpustakaan masih dianggap tempat yang serius dan menyebabkan masih banysk alasan yang dapat kita daftar kalau kita ingin bicara tentang penghambat perkembangan budaya baca di Indonesia.
            Sosok Baramuli dikenal mampu hidup di semua zaman, karena dia banyak membaca, melihat dan mendengar.  Keberhasilan yang ditanamkan beliau adalah dituntun banyak membaca, dimana pak Baramuli dalam menjalani proses kehidupan terletak pada kemampuannya hidup dalam empat alam. Pertama figur Baramuli adalah tokoh yang mampu menempatkan diri sebagai publik fgur daerah yg sukses menjalankan tugas-tugasnya baik sebagai Kepala Kejaksaan Tingi Sulawesi maupun sebagai pengawas Jaksa Indonesia Timur. Kedua karena kemampuannya menangani maslah hukum sehingga dia dipercaya menjadi Gubernur Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah dalam usia 29 tahun. Ketiga berhenti menjadi Gubernur Sulawei Utara dan Sulawesi Tengah pisah,  melibakan diri dalam arena bisnis. Keempat setelah sukses menangai bisnis di Poleko Group. Baramuli melibatkan diri di kanca politi, selama 20 tahun menjadi anggota DPR RI . Sebagai tokoh SULSEL  patut menjadi teladan, khususnya bagi bagi generasi muda, karena di tokoh mampu memperlihatkan prestasinya selama kepemimpinan Presiden  Soekarno, Soehato dan Habibie.
Minat baca
Mengingat “minat” per definisi adalah dorongan hati yang tinggi untuk melakukan sesuatu, maka “minat baca” adalah dorongan hati yang tinggi untuk membaca. Keinginan membaca bukan karena ada faktor eksternal sebagai pemaksa untuk membaca, melainkan karena ada faktor internal sebagai pendorong untuk membaca. Faktor internal itu ialah keinginan untuk mendapat pengalaman yang mengasyikkan dari kegiatan membaca. Pengalaman mengasyikkan itu boleh terdiri atas satu, atau gabungan dari beberapa macam perasaan: senang sampai tertawa, sedih atau terharu bahagia sampai berlinang air mata, takut sampai meringkuk, tegang sampai berdebar-debar, dan lain-lain. Pengalaman mengasyikkan ini menjadi sasaran utama yang ingin dicapai  melalui membaca. Menjadi tujuan dari membaca. Merupakan motif untuk membaca. “Minat baca”  membatasi maknanya sendiri pada “voluntary reading.” Suka-rela. Membaca demi membaca.   Minat baca (reading interest) tidak sama dengan kebiasaan membaca (reading habits) dan berbeda pula dari budaya baca (reading culture). Secara sederhana, minat baca adalah potensi untuk membaca secara suka-rela. Kebiasaan membaca adalah kegiatan beinteraksi dengan bahan bacaan secara teratur atau berulang. Minat baca akan menjadi kebiasaan membaca jika  tersedia bahan bacaan yang sesuai untuk dibaca dan ada cukup waktu untuk membaca. Pada kebiasaan membaca,  motifnya bukan lagi hanya untuk mendapat pengalaman emosional yang mengasyikkan tetapi juga untuk mendapat informasi atau pengetahuan baru.
Motif yang terakhir ini dipicu oleh faktor eksternal yang sifatnya memaksa. Misalnya, memaksa orang untuk membaca supaya sukses dalam pendidikannya. Kebiasaan membaca  motifnya bisa dua. Satu, pengalaman mengasyikkan dari membaca itu sendiri, reading for reading. Dua, pengetahuan dan pembelajaran untuk memenuhi tuntutan pendidikan, tuntutan pekerjaan, tuntutan hidup. Salah satu dari yang terakhir ini bisa lebih dominan dari yang lain. Jika motif dominannya adalah untuk  pemenuhan tuntutan pendidikan, maka kebiasaan membaca akan berkurang drastis kuantitasnya sesaat setelah tamat sekolah atau ujian skripsi. Faktor luar tidak lagi bersifat memaksa (compulsory) melainkan bersifat menghimbau (pseudo-compulsary) seperti misalnya professional reading. Beberapa hasil penelitian yang saya pelajari tentang minat baca membuktikan bahwa  para peneliti tidak membedakan ketiga istilah tadi dan sering saling mempertukarkannya. Akibatnya, ada hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa minat baca anak-anak di daerah yang mereka teliti rendah hanya karena rata-rata responden hanya membaca 15 menit per hari. Padahal sesungguhnya yang mereka ukur adalah kebiasaan membaca responden, bukan minat baca mereka.
Minat baca adalah potensi untuk membaca. Potensi untuk membaca itu  akan menjadi kebiasaan membaca jika ada cukup waktu untuk membaca dan ada bahan bacaan untuk dibaca. Sering atau tidak seringnya seseorang membaca  memang dapat menjadi indikator tinggi-rendah minat baca. Tapi indikator tersebut hanya bisa disebut sahih jika memasukkan faktor aksesibilitas responden terhadap bahan bacaan.  Sebab orang yang tinggi minat bacanya belum tentu sering membaca. Sebaliknya, orang yang membaca jarang, belum tentu dikarenakan minat bacanya rendah. 
Manfat Membaca
            Secara umum membaca adalah satu cara yang tertua melalui huruf sandi yang berlaku pada zamannya, seorang menyampaikan pesan-pesan  maupun lambang-lambang tersebut sehingga pembaca dapat mengetahui, mendalami dan mempelajari kehidupan, pandangan hidup yang pernah dianut dan dialami oleh unsur manusia pada masa sebelumnya. Disampni itu dengan membaca, seseorang dapat mengetahui tentang keadaan seseorang terkenal maupun tentang keadaan dunia dan masyarakat dimana ia berada maupun ditempat lain. Dengan membaca seorang memperluas cakrawala pemikiran dan memahami pribadi orang-orang benar dan ternal.
Menumbuhkan Minat Baca
            Dengan semakin berkembangnya TI (Teknologi Informasi) maka semaiki dibutuhkan orang yang mampu banyak membaca dan mampu menguasai IPTEK. Cara yang ditempu adalah dengan mengirim tenagaga perpustakaan/pustakawan baik pendidikan non gelar, S1, dan S2. Disamping itu peningkatan secara kualitas kolesi perpustakaan dengan cara menambah jumlah anggaran yang ada di perpustakaan.
Kesimpulan
Memaknai buda baca, kebiasaan membaca, dan budaya baca adalah tiga fase yang berbeda namun sinambung secara difusif dalam kronologi hidup manusia.  Minat baca ibarat bibit yang jika ditanam pada lahan yang tepat akan tumbuh menjadi kebiasaan membaca dan pada waktunya akan berbuahkan budaya baca. Sebagai bibit, minat baca harus ditanam dan dipelihara agar tumbuh menjadi minat baca. Kondisi yang dibutuhkan untuk menanam minat baca dan menumbuhkan minat baca yang kemudian menjadi budaya baca. Maka strategi yang dibutuhkan untuk masing-masing fase berbeda pula. Membaca merupakan modal utama memulai sukses dan cara termurah untuk dapat membaca adalah mengunjungi perpustakaan.
Upaya untuk menumbuhkan minat baca pada seorang anak sebenarnya adalah upaya untuk membuat dia tahu, membuat dia mengerti, bahwa pengalaman-pengalaman mengasyikkan dapat diperoleh dari membaca. Pengalaman berupa berbagai rasa yang mereka dapatkan setiap mendengarkan cerita yang dibacakan itu akan menumbuhkan minat baca dalam diri mereka. Hal ini juga mengajarkan mereka bahwa buku (dan bahan bacaan lain) adalah media yang dapat mendatangkan pengalaman mengasyikkan jika dibaca. Kelak jika mereka sudah pandai membaca, mereka akan gemar membaca, kerap membaca untuk menikmati sensasi dari membaca. Anak-anak dari orang tua yang biasa membacakan buku cerita kala senggang di rumah akan menjadi anak-anak yang gemar membaca di kemudian hari. Demikian juga anak-anak dari ayah-ibu yang sering membaca di rumah. Melihat orang tua mereka sering membaca, minat baca anak-anak akan tumbuh. Selain itu karena membaca merupakan kunci utama dalam usaha menambah ilmu pengetahuan, teknologi dan kehidupan pada gilirannya dapat mengantarkan setiap individu ingin berkembang.

Daftar Pustaka

Asroruddin, Muhammad Melongok. Buda Baca dan Tulis Masyarakat Jepang (http:// www.mail- arceivecom/clonn fkui@yahoogroups. com/msg00122.html) Sabtu, 9 Desember 2006

Kusuma, Bachtiar Adnan (ed.) 70 Tahun Baramuli Pantang menyerah.
          Jakarta : Yapensi, 2000.

Lasa H.S. Manajemen Perpustakaan di Indonesia. Bogor, 2005

Prastowo, Andi. Manjemen Perpustakaan Sekolah Profesional. Jogyakarta : Dva Prees, 2012

Simanjuntak, Melling. 2011.   Memaknai Hakikat Minat Baca untuk Tujuan Praktis. Majalah Visi Pustaka Vol.13 No.3 - Desember 2011






Rabu, 29 Agustus 2012

ROLE OF NATIONALLIBRARY ON DATA DEVELOPMENT SYSTEM OF LIBRARIAN IN INDONESIA


 
By: Drs. Anwar, MM
Associate Librarian Cereals Research Institute, Maros

Abstract
Center for Development of The National Library of Indonesia each year have been handed out questionnaires at each library, to be filled by the librarian, so that at the beginning of 2010 has collected data is accurate and can be justified according to the results that have been collected. The writer is an associate librarian at the Ministry of Agriculture Balitsereal, have traced gather results that have been in the National Library has been accessed via the internet on 27th to 30 August 2010.
In collecting data according to results compiled librarian Development Center of the National Library R, I by 3042 people who have occupied positions of librarian and then search based on the functional status of the active position by 2881/94, 71%, while the liberated while (DBS) as much as 16 / 5, 29%. (Table 5), To facilitate the data collated on the basis of our library, education, field, class / rank, status position, and based on the agency. The development library obligatory. The development must be carried out continuously and continuous. Role of the Library of developing a data librarian is expected to play a role in supporting the achievement of the vision and mission of each library.

Keywords: Library; development; librarians; Indonesia