Selasa, 07 Agustus 2012

Paradigma Perpustakaan Dalam Mewujudkan Perkoperasian di Indonesia





Drs. Anwar MM
Pengawas Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Kabupaten. Maros

Pembangunan perpustakaan dan koperasi tidak terlepas dari usaha serta peran masyarakat bersama pemerintah dalam mewujudkan perperkoperasian  yang di kemukakan oleh AM, Moskow yang menyebut bahwa organisasi koperasi  dapat diperhatikan dalam lima hal kebutuhan yang berjenjang” 1. Kebutuhan fisik, 2. Kebutuhan rasa aman, 3. Kebutuhan bermasyarakat / sosialisai, 4. Kebutuhan penghargaan dan 5. Kebutuhan aktualisasi diri. OLeh karena itu  memperbaiki manajemen koperasi yang lebih baik maka dibutuhkan paradigma perpustakaan sebagai pusat informasi untuk mendapatkan bahan bacaan  sebanyak mungkin tentang perkoperasian. Hal ini  perlu pemahaman tentang manajemen koperasi yang harus dilaksanakan dengan cara tiga pendekatan kelembagaan Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan (atau ada yang bilang dimasa revolusi industri di-Inggris) yang diprakarsai oleh seorang industrialis yang sosialis yang bernama Robert Own.
1. Koperasi  sebagai lembaga organisasi ekonomi, artinya secara ekonomi koperasi harus :
·  Mempunyai kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan anggotanya
· Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
· Dikelola secara layak, efisien, sehingga ada nilai tambah yang dapat dinikmati oleh koperasinya maupun oleh anggotanya
· Mempunyai aturan main yang jelas untuk mendukung keberhasilan usahanya, misalnya system dan prosedur manajemennya, akutansinya dan sebagainya.

2.   Koperasi sebagai lembaga organisasi kemasyarakatan/sosial, artinya dari aspek sosialnya koperasi harus :
· Keangggotaan bersifat terbuka, tidak diskriminatif.
· Pengelolaan bersifat terbuka terhadap anggotanya sebagai pemilik koperasi

· Perlakuan yang adil terhadap anggotanya sesuai hak dan kewajibannya
· Adanya suatu wadah/forum untuk menampung aspirasi anggota dan aspirasi tersebut harus didengarkan
· Mempunyai kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan anggotanya
3. Koperasi sebagai lembaga organisasi pendidikan, artinya koperasi harus :
· Merupakan tempat pendidikan idiologi koperasi, berorganisasi dan berusaha/bisnis bagi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
· Melaksanakan kegiatan khusus yang berkaitan dengan pendidikan anggotanya sesuai dengan kebutuhan
Sebagai organisasi koperasi mempunyai tujuan organisasi yang merupakan kumpulan dari tujuan-tujuan individu dari anggotanya, jadi tujuan koperasi sedapat mungkin harus mengacu dan memperjuangkan pemuasan tujuan individu anggotanya, dalam operasionalnya harus singkron.
Oleh keren untuk memperbaiki paradigma perpustakaan, maka yang terbayangkan adalah deretan buku rapi tertata di rak. Nyaris tak pernah melibatkan pembaca yang justru menjadi penentu hidup matinya sebuah perpustakaan. Pengawasan yang sangat ketat pada perpustakaan telah menempatkan pengunjung dalam posisi calon terdakwa. Perpustakaan, memang sudah saatnya diberikan wajah yang manusiawi. Sudah harus dihentikan cara-cara mencurigai pengunjung perpustakaan bagaikan pelaku kriminal, sementara pada saat yang sama minat baca bangsa ini masih belum menggembirakan. Memahami perpustakaan ada baiknya ditempatkan sebagai kata kerja, atau setidaknya memandangnya sebagai sesuatu yang hidup, yang tumbuh dan berkembang, dan bukan semata-mata berujud sebuah ruang yang penuh dengan deretan rak penuh buku.
Apa yang selama ini dipelajari oleh kalangan pustakawan adalah bagaimana membuat sistematika koleksi buku yang jelas, rapi dan teratur. Katalogisasi menjadi syarat utama, sehingga tanpa menguasai ilmu itu, seolah-olah seseorang tak berhak menyandang sebutan pustakawan. Itulah sebabnya sistematika penyusunan koleksi buku di perpustakaan seluruh dunia lantas menjadi (dan memang dibuat) sama. Sampai dengan tata cara penulisan nama orang pun, dibuat dengan cara terbalik sebagaimana tradisi budaya Barat. Padahal, sistem nama di Indonesia justru kebalikannya.
Perpustakaan dan Koperasi
Bila mencermati perkembangan perpustakaan dari tahun ketahun maka mempunyai kemajuan yang sangat besar dari pembangunan. Hal ini ditandai bahwa bahwa dengan keberadaan perpustakan sebagi pusat informasi lebih memudahkan untuk mencari literatur/buku dari berbagai macam informasi termasuk buku  perkoperasian di Indonesia.  Dalam melaksanakan roda oganisasi koperasi harus tunduk pada tata nilai tetentu yang merupakan karakteristik koperasi tata nilai ini dapat kita baca di Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian terutama pasal 2 s/d 5, yang lazim disebut: Landasan Asas, tujuan, fungsi dan peran serta perinsip koperasi.  Selain itu diperjelas pada pasal 33 ayat 1 UUD 1945.
Kemudian bila mengkaji lebih mendalam bilamana memasuki ruang perpustakaan pertama-tama yang kita jumpai adalah petugas perpustakaan dalan koleksinya termasuk buku, majalah, juranl, surat kabar dll dan pustakawan/petugas perpustakaan  dapat memberikan penjelasan kepada pengguna untuk mencari informasi yang dibutuhkan termasuk buku system perkoperasi di Indonesia, yang isinya   bertujuan memperbaiki nasib golongan miskin dan kelompok ekonomi lemah.
Karena itu Bung Hatta diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia. Gelar ini diberikan pada saat kongres Koperasi Indonesia di Bandung pada tanggal 17 Juli 1953. Mungkin dendan dar itu koperasi sebagai suatu system ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki dasar konstitusional, yaitu berpegang pada pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 1 yang menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asa kekelurgaan. Dalam penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering dikemukakan oleh Bung Hatta, yang seiring disebut sebagai perumus pasal tersebut.
Seringkali mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), atau apapun namanya, menulis di surat pembaca, meminta bantuan buku untuk membangun perpustakaan di desa setempat. Mungkin permintaan mahsiswa agak direspon karena untuk mencerdaskan bangsa lebih cepat maka didirikan perpustakaan desa. Hal paling dilirik koleksinya kedepan adalah buku-buku koperasi sejalan dengan pemikiran Bung Hatta sendiri menganjurkan didirikannya 3 macam koperasi, Pertama adalah koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai, kedua adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan), ketiga adalah koperasi kredit yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta juga menganjurkan pengorganisasian industry kecil dan koperasi produksi, guna memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil. Menurut Bung Hatta, tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi ini tidak berarti, bahwa koperasi itu identik dengan usaha skala kecil.
Paradigma Perpustakaan
Mereka hanya berpikir tentang bagaimana menghadirkan sebuah ruangan yang diisi dengan koleksi buku atau bacaan lain. Namun yang belum dipikirkan adalah, apakah masyarakat setempat memang sanggup menghidupkan perpustakaan sebagai tempat mencari informasi?
Kalau perpustakaan hanya semata-mata dimaknai sebagai kumpulan buku, katalogisasi dan perangkat keras lainnya, maka makna perpustakaan tak ubahnya bagaikan gudang buku. Perpustakaan yang seperti ini tidak memberikan ruang yang memadai bagi eksistensi pembacanya. Pengunjung perpustakaan disamakan dengan pengunjung mal atau plaza, yang harus dicurigai, diawasi dan diperlakukan sebagai orang luar. Padahal, jujur saja, sesungguhnya hakekat sebuah perpustakaan adalah habitat masyarakat pembaca. Kalau perpustakaan hanya dimaknai sebagai “sebuah ruang penuh dengan buku”, maka lebih baik ada masyarakat pembaca tanpa perpustakaan daripada dibangun perpustakaan namun tidak ada yang berminat memanfaatkannya. Dan sebuah habitat pembaca ini, tetap akan mencari buku atau bahan bacaan, ada atau tidak ada perpustakaan. Dengan demikian, kalau saja ada perpustakaan, maka komunitas pembaca seperti itu ibarat murbaut bertemu sekrup.Komunitas pembaca buku seperti itu sebetulnya dapat dibangun setelah ada perpustakaan. Kalangan pengunjung setia sebuah perpustakaan dapat diorganisasi untuk membentuk kelompok pembaca, kemudian mengatur kegiatannya sendiri dengan semangat menjaga dan menghidupkan perpustakaan yang sama-sama mereka butuhkan selama ini.
Pertama adalah soal keamanan koleksi buku. Dengan adanya Kelompok Pembaca Buku (KPB, katakanlah begitu) dapat meminimalisasi risiko kehilangan buku koleksi perpustakaan. Setiap anggota KPB yang akan meminjam buku diwajibkan harus ada beberapa orang yang siap menanggung risikonya bilamana buku itu hilang atau rusak.
Kedua, tenaga pustakawan sangat terbatas. Dengan adanya KPB dapat membantu tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh petugas perpustakaan. Pihak pengelola dapat berunding secara baik-baik, bidang-bidang kerja apa saja yang memungkinkan dilakukan oleh anggota KPB. Mereka tentu senang mengerjakannya karena hal itu merupakan cerminan rasa ikut memiliki perpustakaan yang mereka cintai.
Ketiga, koleksi buku terbatas. Hal ini dapat diatasi secara kelembagaan oleh KPB. Mereka dapat bekerjasama dengan penerbit sehingga selalu mendapatkan kiriman buku-buku baru secara gratis dengan kompensasi yang dapat dirundingkan kemudian. Bukan tidak mungkin pihak penerbit akan dengan suka hati memberikan buku dalam jumlah yang cukup banyak, baik gratis atau memberikan potongan yang cukup besar bagi anggota KPB. Bahkan, KPB juga dapat secara patungan membeli buku-buku baru untuk koleksi bersama di perpustakaan tersebut. Selama ada kerelaan dari pihak pengelola perpustakaan untuk memberikan rasa ikut memiliki, maka KPB akan dengan senang hati membantu pengadaan koleksi buku. Mereka dapat bergerak leluasa menghubungi pihak-pihak lain, baik instansi ataupun perorangan yang bersedia menyumbangkan buku untuk perpustakaan. Selama ini pengelola perpustakaan cenderung pasif, hanya menunggu partisipasi dari pihak lain
                Oleh karena itu maka pemerintah dalam mewujudkan paradigma perpustakaan maka dibutuhkan tenaga yang professional di bidan perpustakan/pustakawan untuk melayani pengguna sesuai kebuhan, seiring dengan perkembangan zaman.
Kesimpulan
Dalam mencermati paradigma perpustakaan dalam mewujudkan perkoperasian di Indonesia, maka peranannya sungguh besar  artinya dalam mengembangkan usaha kecil, karena melalui perpustakaan sebagai pusat informasi dapat mencari solusi terbaik untuk mamajukan koperasi lebih baik dengan memperhatikan  5 hal : 1. Kebutuhan fisik, 2 kebutuhan rasa aman, 3.kebutuhan bermasyarakat / sosialisai, 4. kebutuhan penghargaan dan 5. Kebutuhan aktualisasi diri. Kemudian mencermati  pada Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian terutama pasal 2 s/d 5, yang lazim disebut: Landasan Asas, tujuan, fungsi dan peran serta perinsip koperasi.  Selain itu diperjelas pada pasal 33 ayat 1 UUD 1945. Selain perlu adanya manajemen, dengan cara sesuai yang digambarkan Bapak Bung Hatta system perkoperasi di Indonesia dengan mempelopori Gerakan Koperasi yang pada perinsipnya bertujuan memperbaiki nasib golongan miskin dan kelompok ekonomi lemah. Karena itu Bung Hatta diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia. Gelar ini diberikan pada saat kongres Koperasi Indonesia di Bandung pada tanggal 17 Juli 1953.
Dengan demikian, kalau saja ada perpustakaan, maka komunitas pembaca seperti itu ibarat murbaut bertemu sekrup. Komunitas pembaca buku seperti itu sebetulnya dapat dibangun setelah ada perpustakaan.



Daftar Pustaka
Anwar M. 2011. Membangun pustakawan yang professional dalam melayani masyarakat. Makassar : JUPITER  Vol. IX  (2) Maret 2011 : p. 113-119.
Blok, Fatmaambasari’s. 2011. Organisasi koperasi , 31 Desember 2010 . Dikutif Dalam internet pada tanggal 11 Maret 2011.
Delly H., Dadang . Dr.M.Si (2005) Strategi Dinas Pendidikan dalam meningkatkan budaya baca masyarakat. Bandung : Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Daerah Jawa Barat
KPRI-Kabupaten Maros. Laporan pertanggung jawaban pengurus dan pengawas pusat koperasi pegawai Republik Indonesia (PKPRI) Kabupaten Maros RAT ke XXVIII tahun buku 2010 pada tgl 3 Januari 2011. Maros : KPRI Kabupaten Maros.
Tambunan, Tulus; dan Anik, Chairulhadi M. 2009. Perkembangan koperasi di Indonesia dalam era globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia. Forum Ekonomi Indonesia. Jakarta : Center for Industry, SME & Business Competition Studies University of Trisakti

0 komentar:

Posting Komentar