Drs. Anwar Makkasau, MM
Wakil Sekertaris Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Kabupaten Maros
Pendahuluan
Perjuangan ICMI
lahir pertama kali tahun 1990 atau sudah diakui eksistensinya di Indonesia yang
pertama kali terpilih sebagai Ketua Prsedium ICM I adalah Bapak Prof. Dr.IR.
B.J. Habibie. Suara bedug bertalu-talu di aula “student center” Universitas
Brawijaya, mengiringi terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia
(ICMI). Sesekali terdengar pekik takbir “Allahu Akbar” menyambut detik-detik
yang bersejarah. Rasa haru, gembira dan syukur bercampur disanubari Cendekiawan
Muslim yang hadir dan menyaksikan peristiwa yang sangat penting di penghujung
tahun 1990 itu. Ada yang saling bersalaman, ada yang saling berpelukan, ada
pula yang langsung sujud syukur di tempat perhelatan.
Bagaimana mungkin mereka tidak bersyukur, setelah
menunggu sekian lama, itupun melalui perjuangan panjang dan berliku, wadah yang
didambakan akhirnya terbentuk juga. Uniknya, prakarsa atau pendorong
terbentuknya ICMI bukan datang dari kalangan Cendekiawan Muslim sendiri, juga
bukan kehendak dari pemerintah, tapi dari lima orang mahasiswa Fakultas Teknik
Sipil Angkatan 1987, yang tergabung dalam Unit Kerokhanian Islam Universitas
Brawijaya Malang : Erik Salman, Ali Mudzakir, Muhammmad Zaenuri, Awang Surya
dan Mohammad Iqbal.
Yang menjadi soal, pertama bagaimana riwayatnya
hingga kelima mahasiswa itu mempunyai ide dan mendorong pembentukan ICMI.
Kedua, apakah usaha membentuk wadah semacam ICMI itu pernah ada atau tidak,
jika ada, siapa saja para perintisnya dan sejauh mana keberhasilannya. Ketiga,
apakah momentum kelahiran ICMI merupakan peristiwa yang spontan dan berdiri
sendiri, ataukah ada korelasi dan relevansinya dengan perjalanan sejarah sosial
politik umat Islam Indonesia ? Biar para pakarlah yang menjawabnya . . .
Berawal dari sebuah diskusi kecil di bulan Februari
1990 di Masjid Kampus Universitas Brawijaya, sekelompok mahasiswa merasa
prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama karena adanya ‘perpecahan” di
kalangan cendekiawannya. “Terus terang kami prihatin dengan masa depan umat
Islam. Seolah-olah terjadi polarisasi kepemimpinan umat. Ada kelompok
Paramadina di Jakarta, Salman di Bandung, Salahuddin di Yogyakarta, Al Falah di
Surabaya dan lain-lain . .”ujar Erik Salman yang menjadi juru bicara dari
kelima mahasiswa tersebut diatas. Dari sini tercetus keinginan untuk
menyelenggarakan semacam kegiatan yang bisa mempertemukan para cendekiawan
Muslim, dengan cara menghadirkan mereka sebagai pembicara dalam suatu
simposium. Setelah itu mereka menghadap Rektor Universitas Brawijaya, Drs. ZA
Ahmady, MPA untuk berkonsultasi, dan juga meminta saran-saran dari Rektor
Unversitas Muhammadiyah Malang, Drs. A. Malik Fajdar, Msc. Oleh Rektor
Universitas Brawijaya mereka diminta menyusun proposal dan membentuk
kepanitiaan simposium. Tema simposium yang direncanakan : “Sumbangan
Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas”, dengan ancang-ancang pelaksanaan
tanggal 29 September sampai dengan 1 Oktober 1990. tetapi waktu proposal
diajukan, Rektor meminta untuk ditunda dulu karena dana yang diperlukan terlalu
besar. Namun mereka tidak putus asa, setelah mendapat dukungan sana-sini,
mereka berangkat ke Jakarta menemui sejumlah cendekiawan Muslim di sana. Sebulan
sebelum dilaksanakan simposium, para mahasiswa itu, dengan merogoh kantong
mereka sendiri, berkeliling di Yogyakarta, Jakarta dan Bogor menemui beberapa
cendekiawan Muslim yang diharapkan bisa menjadi pembicara. Dari pertemuan
dengan antara lain, Imaduddin Abdulrahim dan M. Dawam Rahardjo, keinginan untuk
menyelenggarakan simposium itu berkembang jauh hingga muncul ide membentuk
wadah cendekiawan Muslim yang berlingkup Nasional. “Saya memang menyarankan
kepada para mahasiswa itu untuk mempertemukan para cendekiawan Muslim, supaya
terjalin ukhuwah yang mantap di antara mereka dan potensi bisa terhimpun . .
.”ujar Dr. Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Beliau setelah mendiskusikan masalah
ini dengan M. Dawam Rahardjo, menganjurkan kepada para mahasiswa itu untuk menemui
Menristek Prof. Dr. Ing.B.J. Habibie yang sebelumnya direncanakan menjadi salah
seorang pembicara. Anjuran ini ternyata klop dengan keinginan para mahasiswa
itu sendiri yang mengaku sudah sejak lama mengagumi Habibie. Karena membaca
riwayat hidup tokoh ini di majalah “Kiblat”. Tanggal 23 Agustus 1990, kelima
mahasiswa itu dengan diantar oleh Imaduddin, M. Dawam Rahardjo, M. Syafii
Anwar, menemui Habibie di kantor BPPT jalan MH. Thamrin Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Bang Imad (panggilan akrab Dr.
Imaduddin) memulai pembicaraan dan meminta Prof. Dr. B.J. Habibie untuk bisa
memimpin wadah cendekiawan Muslim dalam lingkup Nasional. Waktu itu Pak Habibie
menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia, tetapi sebagai menteri dan juga
sebagai pembantu Presiden, beliau harus meminta ijin dari Presiden Soeharto.
Habibie juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat
dan diperkuat dengan bukti dukungan dari beberapa kalangan cendekiawan Muslim.
Konsep surat yang isinya mencalonkan Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan
Muslim akhirnya dibuat. Kemudian Dawam memberikan kata pengantarnya dan
menyusun daftar tokoh-tokoh cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu, untuk
dimintai dukungan bersama mahasiswa dan Imaduddin, kelima mahasiswa itu lalu
mengedarkannya ke berbagai cendekiawan Muslim di Jakarta, Bogor, Bandung dan
Yogyakarta. Setelah diedarkan, ternyata sambutannya di luar dugaan. Sebanyak 49
(Empat Puluh Sembilan) cendekiawan Muslim menyetujui pencalonan Habibie dan
membubuhkan tanda tangannya. Dari 49 penanda tangan itu, 45 diantaranya
bergelar Doktor dan 2 orang profesor. Pada tanggal 27 September 1990, dalam
suatu pertemuan di rumahnya, Habibie memberitahukan bahwa pencalonannya sebagai
Ketua Umum direstui oleh Presiden Soeharto. Dalam pertemuan ini Habibie
mengusulkan agar wadah cendekiawan Muslim itu dinamakan Ikatan Cendekiawan
Muslim se- Indonesia, disingkat ICMI. Juga diberitahukan bahwasannya Habibie
bersama enam menteri dan dua orang cendekiawan Muslim telah menghadap Presiden.
Dalam pertemuan itu diungkapkan, Presiden merestui simposium dan pembentukan
ICMI, sejak saat itu embrio ICMI tumbuh dengan cepat. Tanggal 28 September
1990, sejumlah cendekiawan Muslim bertemu lagi dalam rangka persiapan simposium
yang akan diselenggarakan pada bulan Desember 1990. pertemuan ini menghasilkan
kesepakatan untuk membentuk tiga tim dalam rangka kelahiran ICMI, yakni
kerangka acuan dan disain simposium (diketuai M. Dawam Rahardjo), tim program
kerja (diketuai Sri Bintang Pamungkas) dan tim Anggaran Dasar (diketuai
Muslimin Nasution). Jiga disepakati, simposium yang semula bertema “Sumbangsih
Cendekiawan Muslim menuju Era Tinggal Landas”diganti dengan “Simposium Nasional
Cendekiawan Muslim : Membangun Masyarakat Abad XXI”. Dalam proses
penyelenggaraan simposium serta pembentukan ICMI, telah ikut dilibatkan
sejumlah staf BPPT, antara lain Dr. Ir. Wardiman Djojonegoro, Dr. Marwah Daud
Ibrahim, Drs. Komaruddin, MA serta Ir. Tasmin dll.
Perjuangan dan Pengembangan
Meskipun belum resmi berdiri, embrio ICMI sudah
melangkah jauh. Pertemuan demi pertemuan diadakan baik dalam rangka mematangkan
persiapan pembentukan ICMI maupun pelaksanaan simposium. Pada tanggal 26
Oktober 1990, bertempat di Departemen Agama, ketiga tim : kerangka acuan dan
disain simposium, program kerja dan anggaran dasar, melaporkan gagasan
pembentukan ICMI dalam rapat terbatas antara MUI dan para cendekiawan Muslim.
Pertemuan berikutnya diselenggarakan pula pertemuan di Pusat Pengkajian
Strategis dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta. Tanggal 25-26 Nopember 1990,
sekitar 22 orang cendekiawan yang akan membentuk wadah baru itu berkumpul di
Tawangmangu Solo, merumuskan beberapa usulan untuk OBHN 1993 dan Pembangunan
Jangka Panjang Tahap Kedua 1993-2018 serta rancangan Program Kerja dan Struktur
Organisasi ICMI. Sementara itu di Jakarta, tim Anggaran Dasar sejak akhir
September melaju dengan rancangannya, setelah digodok dalam beberapa kali
pertemuan. Habibie kemudian berdialog dengan ketiga tim di kediamannya selama
lebih kurang 7 jam. Ketika segala persiapan sudah dirasa semakin matang, baik
untuk simposium dan pembentukan ICMI, pertemuan final diselenggarakan di kantor
MUI. Hadir di sini Ketua MUI KH. Hasan Basri, Menteri Agama H. Munawir Sadzali,
Menpen Harmoko dan Menristek Habibie sendiri, akhirnya gagasan kelima mahasiswa
dari Malang Jawa Timur untuk menyelenggrakan simposium itupun berubah menjadi
peristiwa yang bernilai sejarah. Ya, dari Malang babak baru sejarah umat Islam
digelar, dengan suasana yang jauh berbeda dari bayangan semula. Tanggal 6
Desember 1990, Presiden Soeharto sendiri dengan mengucapkan
“Bismillahirrahmanirrahim” membuka simposium dilanjutkan menabuh bedug sesuai
irama ketika suara adzan hendak dikumandangkan. Lihatlah yang hadir dalam
pembukaan simposium itu, Mensekneg Moerdiono, Pangab. Jenderal TNI Tri
Sutrisno, Mendikbud Fuad Hasan, Menteri Agama Munawir Sadzali, Menpen Harmoko,
Menteri KLH Emil Salim, Menhub Azwar Anas dan juga mantan Menko Kesra Alamsyah
Ratuperwiranegara, di samping pejabat-pejabat daerah. Acara penutupan simposium
tanggal 8 Desember 1990 itu sendiri dilakukan oleh Wakil Presiden Soedarmono.
Jarang sekali ada, bahkan belum pernah terjadi suatu simposium cendekiawan
Muslim yang dilanjutkan dengan pembentukan ICMI di Malang itu memang sesuatu
yang istimewa, baik bagi pemerintah maupun bagi umat Islam. Suasana pada
tanggal 6 – 8 Desember 1990 itu telah menggambarkan kemesraan antara Islam
dengan pemerintah, tepatnya antara cendekiawan Muslim dengan Pemerintahan Orde
Baru. Di sana, dari 465 orang cerdik pandai Muslim dari berbagai aliran,
kelompok, profesi dan warna politik menggelar simposium yang diharapkan mampu
memberikan sumbangan berharga bagi pembangunan dana lebih dari setengah milyar
rupiah suatu jumlah yang memang tidak kecil. Tentu saja bukan soal dana yang
membuat simposium itu menjadi istimewa dan bersejarah. Tapi kelahiran ICMI dan
dukungan cendekiawan Muslim terhadap seorang Bachrudin Jusuf Habibie, putera
pare-pare Sulawesi Selatan, yang lahir pada tanggal 25 Juni 1936 dan menjabat
sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Ketua BPPT, Ketua BPIS, Direktur IPTN,
Direktur PT. PAL dan Ketua Otorita Pulau Batam. Seorang Teknolog dan ahli
kontruksi pesawat terbang yang mempunyai reputasi Internasional, dan dikenal
sangat dekat dengan Presiden Soeharto. Seorang tokoh yang jika dilihat dari
“Social Origin” nya tidak dibesarkan dalam kancah pergerakan organisasi Islam,
tetapi dengan kejeniusannya menapak karir dalam teknokrasi dan birokrasi
negara. B.J Habibie memang tidak dibesarkan dalam kancah “Ideologis” pergerakan
Islam, tetapi mengapa ia didukung dan dipilih untuk menjadi ketua ICMI ?
mungkin ini yang disebut oleh Kuntowijoyo dengan “pergeseran konsep
kepemimpinan umat”.
Ada bberap program kerja 2011-20016 yang diperhatikan untuk kegiatan
al:
1). Revitalisasi organisasi, 2). Kaderisasi anggota, 3). Pengembangan
lembaga keuangan mikro dan makro, 4). Pengembangan usaha mandiri, 5). Pengembangan
kemitraan dan kesetaraan, 6). Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, 7). Penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan, 8). Penyelenggaraan publikasi, 9). Pemberian
Asistensi, 10). Pemberian Advokasi, 11). Pemberian Fasilitasi, 12) Pemberdayaan
perempuan.
Alhamdulillah pada Muhtamar ICMI yang ketiga di laksanakan di Bogor maka terpilih sebagai
ketua Umum Presedium adalah Bapak Dr.Eng Ilham BJ. Habibie untuk meneruskan
perjuangan Ayah anda Bpak Prof. BJ. Habibie. Demi untuk mengaktifkan kembali
program yang telah dirintis sejak berdirinya ICMI dan yang paling diutamakan
program 2011- 2016 adalah terbangunnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat
madani yang maju mandiri, sejahterah berbudaya saing dan amanah. Hal ini bisa
cepat terwujud apabila digunakan perpustakaan
sebagai pusat informasi, gudang ilmu untk mendapatkan informasi sebanyak
mungkin. Dengan demikian beberapa program yang telah dicanangkan adalah
termasuk pengembangan perpustakaan utamanya berbasis TI yang dikembangkan
diperpustakaan Mesjid.
Hal ini yang juga menjadi pertimbangan dalam melihat program aksi yang dicanangkan ICMI al
1. Bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Dilema. Itu yang saya tangkap. Di
satu sisi, Insan Cendekia dibangun dengan sebuah cita2 besar untuk menyebarkan
sistem pendidikan yang menyeimbangkan antara IPTEK dan IMTAQ ke seluruh
Indonesia. Cita2 mulia itu tentunya harus diwujudkan. Namun, di sisi lain, aga
Niat menyebarkan sistem IC pun difollow up oleh ICMI,
sebuah ormas yang beranggotakan cendekiawan2 muslim, yang dahulu sempat
dikepalai oleh Pak Habibie juga saat membangun IC pertama kali. Akhirnya,
disusunlah sebuah memo kesepakatan (MoU, perjanjian, atau apapun namanya) yang
berisikan bahwa, ya, sistem IC akan disebarkan sebanyak2nya ke seluruh
Indonesia, di mana ICMI berperan sebagai agen penyebar, sementara IC serpong,
sebagai pemilik hak nama Insan Cendekiwan
Oleh karena itu ICMI mengantisipasi ancaman Radialisme dan
Eksterimisme sehingga ia berperan sebagai inisiator dan moderator dalam dialog
nasional : 1. Antar Organisasi Islam dan antar organisasi umat beragama dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM)
Mengembangkan
kurikulumnya, menyusun sistemnya, dan pada akhirnya, menyematkan nama Insan
Cendekia di sekolah itu tanpa pemantauan dan sepengetahuan jajaran MANICS.
Kalau teman-teman sudah tau kabarnya, akhirnya satu orang guru pun, dimutasi
untuk mengajar di tempat lain. Penyebabnya, di samping hal yang sudah saya
sebutkan di atas, sebenarnya karena kesibukan membangun sistem IC di sekolah
lain sehingga kinerja dan produktivitas di ICS pun menurun.
Kesimpulan
Pada akhirnya, seperti apa pun program dan kegiatan
yang telah disepakati dilaksanakan dengan menempuh pendekatan Fungsionalisasi
dan fasilitasi, Institusionalisasi, Desiminasi, Integrasi jaringan dan
Mobilisasi yg sesuai AD dan ART ICMI. Kemudian tetap memperhatikan program ICMI
yg dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip yang bersasaran pada
peningkatan mutu dan keberlanjutan. Kemudian memperhatikan beberapa program yg
bakan dilaksanakan baik jangka pendek meliputi bidang ekonomi, pendidikan dan
kesehatan serta program prioritas tiga tahun kemudian mesjid sebagi tempat
untuk mensejaterahkan Ummat. Kemudian juga ICMI
mengantisipasi ancaman Radialisme dan Eksterimisme sehingga ia berperan
sebagai inisiator dan moderator dalam dialog nasional : 1. Antar Organisasi
Islam dan antar organisasi umat beragama dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
Daftar Pustaka
Anonin. 2011. Garis besar program kerja ICMI se- Inonesia Organisasi
Wilayah Sulawesi Selatan
Periode tahun
2011-2016
Anonim. 2010. Wapres Buka Muktamar ICMI Sunday, 05 December 2010 16:11
Media Online Bhirawa
Bogor, Bhirawa.
Harahap, Syafri. 2010 ICMI Perpustakaan masuk Instansi: Dalam rangka
meningkatkan minat baca
Masyarakat. Badan
Arsip dan Perpustakaan Sumateran Utara
ILham BJ.
Habibie. 2011. Pada pemaparan Power Point PROGRAM KERJA ICMI 2010 – 2015
Musyawarah Wilayah V ICMI ORWIL
SULSEL Hotel Horizon, Makassar 24 Mei 2011
Uchrowi, Zaim. 2011. Intellectual muslim -
Indonesia
ICMI
Bergerak: lintasan 10 tahun Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia;Zaim
Uchrowi;&;Usman
Ks;Jakarta;Republika;2000;211p;22 cm;ICMI;Islam and politics –
Indonesia;Intellectual
muslim - Indonesia;Usman, Ks;40.481
0 komentar:
Posting Komentar