Drs. Anwar MM
Pengawas Pusat Koperasi
Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Kabupaten. Maros
Pembangunan
perpustakaan dan koperasi tidak terlepas dari usaha serta peran masyarakat
bersama pemerintah dalam mewujudkan perperkoperasian yang di kemukakan oleh AM, Moskow yang
menyebut bahwa organisasi koperasi dapat
diperhatikan dalam lima hal kebutuhan yang berjenjang” 1. Kebutuhan fisik, 2.
Kebutuhan rasa aman, 3. Kebutuhan bermasyarakat / sosialisai, 4. Kebutuhan
penghargaan dan 5. Kebutuhan aktualisasi diri. OLeh karena itu memperbaiki manajemen koperasi yang lebih
baik maka dibutuhkan paradigma perpustakaan sebagai pusat informasi untuk
mendapatkan bahan bacaan sebanyak
mungkin tentang perkoperasian. Hal ini
perlu pemahaman tentang manajemen koperasi yang harus dilaksanakan
dengan cara tiga pendekatan kelembagaan Ropke
(1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para
pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut
(kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil
atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang
lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi
(2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas
(hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi
usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi
koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan
(atau ada yang bilang
dimasa revolusi industri di-Inggris) yang diprakarsai oleh seorang industrialis
yang sosialis yang bernama Robert
Own.
1. Koperasi sebagai lembaga
organisasi ekonomi, artinya secara ekonomi koperasi harus :
·
Mempunyai
kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan anggotanya
·
Memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
·
Dikelola secara layak, efisien, sehingga ada
nilai tambah yang dapat dinikmati oleh koperasinya maupun oleh anggotanya
·
Mempunyai aturan main yang jelas untuk mendukung
keberhasilan usahanya, misalnya system dan prosedur manajemennya, akutansinya
dan sebagainya.
2. Koperasi sebagai lembaga organisasi
kemasyarakatan/sosial, artinya dari aspek sosialnya koperasi harus :
·
Keangggotaan bersifat terbuka, tidak
diskriminatif.
·
Pengelolaan bersifat terbuka terhadap anggotanya
sebagai pemilik koperasi
·
Perlakuan yang adil terhadap anggotanya sesuai
hak dan kewajibannya
·
Adanya suatu wadah/forum untuk menampung
aspirasi anggota dan aspirasi tersebut harus didengarkan
·
Mempunyai kegiatan usaha yang berkaitan dengan
kepentingan anggotanya
3. Koperasi
sebagai lembaga organisasi pendidikan, artinya koperasi harus :
·
Merupakan tempat pendidikan idiologi koperasi,
berorganisasi dan berusaha/bisnis bagi anggota pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya
·
Melaksanakan kegiatan khusus yang berkaitan
dengan pendidikan anggotanya sesuai dengan kebutuhan
Sebagai organisasi koperasi mempunyai tujuan
organisasi yang merupakan kumpulan dari tujuan-tujuan individu dari anggotanya,
jadi tujuan koperasi sedapat mungkin harus mengacu dan memperjuangkan pemuasan
tujuan individu anggotanya, dalam operasionalnya harus singkron.
Oleh
keren untuk memperbaiki paradigma perpustakaan, maka yang terbayangkan adalah
deretan buku rapi tertata di rak. Nyaris tak pernah melibatkan pembaca yang
justru menjadi penentu hidup matinya sebuah perpustakaan. Pengawasan yang
sangat ketat pada perpustakaan telah menempatkan pengunjung dalam posisi calon
terdakwa. Perpustakaan, memang sudah saatnya diberikan wajah yang manusiawi.
Sudah harus dihentikan cara-cara mencurigai pengunjung perpustakaan bagaikan
pelaku kriminal, sementara pada saat yang sama minat baca bangsa ini masih
belum menggembirakan. Memahami perpustakaan ada baiknya ditempatkan sebagai
kata kerja, atau setidaknya memandangnya sebagai sesuatu yang hidup, yang
tumbuh dan berkembang, dan bukan semata-mata berujud sebuah ruang yang penuh
dengan deretan rak penuh buku.
Apa yang selama ini dipelajari oleh kalangan
pustakawan adalah bagaimana membuat sistematika koleksi buku yang jelas, rapi
dan teratur. Katalogisasi menjadi syarat utama, sehingga tanpa menguasai ilmu
itu, seolah-olah seseorang tak berhak menyandang sebutan pustakawan. Itulah
sebabnya sistematika penyusunan koleksi buku di perpustakaan seluruh dunia
lantas menjadi (dan memang dibuat) sama. Sampai dengan tata cara penulisan nama
orang pun, dibuat dengan cara terbalik sebagaimana tradisi budaya Barat. Padahal,
sistem nama di Indonesia justru kebalikannya.
Perpustakaan
dan Koperasi
Bila mencermati perkembangan
perpustakaan dari tahun ketahun maka mempunyai kemajuan yang sangat besar dari
pembangunan. Hal ini ditandai bahwa bahwa dengan keberadaan perpustakan sebagi
pusat informasi lebih memudahkan untuk mencari literatur/buku dari berbagai
macam informasi termasuk buku
perkoperasian di Indonesia. Dalam
melaksanakan roda oganisasi koperasi harus tunduk pada tata nilai tetentu yang
merupakan karakteristik koperasi tata nilai ini dapat kita baca di
Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian terutama pasal 2 s/d
5, yang lazim disebut: Landasan Asas, tujuan, fungsi dan peran serta perinsip
koperasi. Selain itu diperjelas pada
pasal 33 ayat 1 UUD 1945.
Kemudian bila mengkaji lebih
mendalam bilamana memasuki ruang perpustakaan pertama-tama yang kita jumpai
adalah petugas perpustakaan dalan koleksinya termasuk buku, majalah, juranl,
surat kabar dll dan pustakawan/petugas perpustakaan dapat memberikan penjelasan kepada pengguna
untuk mencari informasi yang dibutuhkan termasuk buku system perkoperasi di
Indonesia, yang isinya bertujuan
memperbaiki nasib golongan miskin dan kelompok ekonomi lemah.
Karena itu Bung Hatta diangkat menjadi Bapak Koperasi
Indonesia. Gelar ini diberikan pada saat kongres Koperasi Indonesia di Bandung
pada tanggal 17 Juli 1953. Mungkin dendan dar itu koperasi sebagai suatu system
ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki dasar
konstitusional, yaitu berpegang pada pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 1 yang
menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asa
kekelurgaan. Dalam penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang
paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering
dikemukakan oleh Bung Hatta, yang seiring disebut sebagai perumus pasal
tersebut.
Seringkali
mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), atau apapun namanya, menulis
di surat pembaca, meminta bantuan buku untuk membangun perpustakaan di desa
setempat. Mungkin permintaan mahsiswa agak direspon karena untuk mencerdaskan
bangsa lebih cepat maka didirikan perpustakaan desa. Hal paling dilirik
koleksinya kedepan adalah buku-buku koperasi sejalan dengan pemikiran Bung Hatta
sendiri menganjurkan didirikannya 3 macam koperasi, Pertama adalah
koperasi konsumsi yang terutama melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai, kedua
adalah koperasi produksi yang merupakan wadah kaum petani (termasuk
peternak atau nelayan), ketiga adalah koperasi kredit yang melayani
pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Bung Hatta
juga menganjurkan pengorganisasian industry kecil dan koperasi produksi, guna
memenuhi kebutuhan bahan baku dan pemasaran hasil. Menurut Bung Hatta, tujuan
koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani
kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Tapi ini
tidak berarti, bahwa koperasi itu identik dengan usaha skala kecil.
Paradigma
Perpustakaan
Mereka hanya berpikir tentang
bagaimana menghadirkan sebuah ruangan yang diisi dengan koleksi buku atau
bacaan lain. Namun yang belum dipikirkan adalah, apakah masyarakat setempat
memang sanggup menghidupkan perpustakaan sebagai tempat mencari informasi?
Kalau perpustakaan hanya semata-mata
dimaknai sebagai kumpulan buku, katalogisasi dan perangkat keras lainnya, maka
makna perpustakaan tak ubahnya bagaikan gudang buku. Perpustakaan yang seperti
ini tidak memberikan ruang yang memadai bagi eksistensi pembacanya. Pengunjung
perpustakaan disamakan dengan pengunjung mal atau plaza, yang harus dicurigai,
diawasi dan diperlakukan sebagai orang luar. Padahal, jujur saja, sesungguhnya
hakekat sebuah perpustakaan adalah habitat masyarakat pembaca. Kalau perpustakaan
hanya dimaknai sebagai “sebuah ruang penuh dengan buku”, maka lebih baik ada
masyarakat pembaca tanpa perpustakaan daripada dibangun perpustakaan namun
tidak ada yang berminat memanfaatkannya. Dan sebuah habitat pembaca ini, tetap
akan mencari buku atau bahan bacaan, ada atau tidak ada perpustakaan. Dengan
demikian, kalau saja ada perpustakaan, maka komunitas pembaca seperti itu
ibarat murbaut bertemu sekrup.Komunitas pembaca buku seperti itu sebetulnya
dapat dibangun setelah ada perpustakaan. Kalangan pengunjung setia sebuah
perpustakaan dapat diorganisasi untuk membentuk kelompok pembaca, kemudian
mengatur kegiatannya sendiri dengan semangat menjaga dan menghidupkan
perpustakaan yang sama-sama mereka butuhkan selama ini.
Pertama
adalah soal keamanan koleksi buku. Dengan adanya Kelompok Pembaca Buku (KPB,
katakanlah begitu) dapat meminimalisasi risiko kehilangan buku koleksi
perpustakaan. Setiap anggota KPB yang akan meminjam buku diwajibkan harus ada
beberapa orang yang siap menanggung risikonya bilamana buku itu hilang atau
rusak.
Kedua, tenaga
pustakawan sangat terbatas. Dengan adanya KPB dapat membantu tugas-tugas yang
seharusnya dilakukan oleh petugas perpustakaan. Pihak pengelola dapat berunding
secara baik-baik, bidang-bidang kerja apa saja yang memungkinkan dilakukan oleh
anggota KPB. Mereka tentu senang mengerjakannya karena hal itu merupakan
cerminan rasa ikut memiliki perpustakaan yang mereka cintai.
Ketiga,
koleksi buku terbatas. Hal ini dapat diatasi secara kelembagaan oleh KPB.
Mereka dapat bekerjasama dengan penerbit sehingga selalu mendapatkan kiriman
buku-buku baru secara gratis dengan kompensasi yang dapat dirundingkan
kemudian. Bukan tidak mungkin pihak penerbit akan dengan suka hati memberikan
buku dalam jumlah yang cukup banyak, baik gratis atau memberikan potongan yang
cukup besar bagi anggota KPB. Bahkan, KPB juga dapat secara patungan membeli
buku-buku baru untuk koleksi bersama di perpustakaan tersebut. Selama ada
kerelaan dari pihak pengelola perpustakaan untuk memberikan rasa ikut memiliki,
maka KPB akan dengan senang hati membantu pengadaan koleksi buku. Mereka dapat
bergerak leluasa menghubungi pihak-pihak lain, baik instansi ataupun perorangan
yang bersedia menyumbangkan buku untuk perpustakaan. Selama ini pengelola
perpustakaan cenderung pasif, hanya menunggu partisipasi dari pihak lain
Oleh
karena itu maka pemerintah dalam mewujudkan paradigma perpustakaan maka
dibutuhkan tenaga yang professional di bidan perpustakan/pustakawan untuk
melayani pengguna sesuai kebuhan, seiring dengan perkembangan zaman.
Kesimpulan
Dalam mencermati paradigma
perpustakaan dalam mewujudkan perkoperasian di Indonesia, maka peranannya
sungguh besar artinya dalam
mengembangkan usaha kecil, karena melalui perpustakaan sebagai pusat informasi
dapat mencari solusi terbaik untuk mamajukan koperasi lebih baik dengan
memperhatikan 5 hal : 1. Kebutuhan
fisik, 2 kebutuhan rasa aman, 3.kebutuhan bermasyarakat / sosialisai, 4.
kebutuhan penghargaan dan 5. Kebutuhan aktualisasi diri. Kemudian
mencermati pada Undang-undang RI No. 25
Tahun 1992 tentang perkoperasian terutama pasal 2 s/d 5, yang lazim disebut:
Landasan Asas, tujuan, fungsi dan peran serta perinsip koperasi. Selain itu diperjelas pada pasal 33 ayat 1
UUD 1945. Selain perlu adanya manajemen, dengan cara sesuai yang digambarkan
Bapak Bung Hatta system perkoperasi di Indonesia dengan mempelopori Gerakan
Koperasi yang pada perinsipnya bertujuan memperbaiki nasib golongan miskin dan
kelompok ekonomi lemah. Karena itu Bung Hatta diangkat menjadi Bapak Koperasi
Indonesia. Gelar ini diberikan pada saat kongres Koperasi Indonesia di Bandung
pada tanggal 17 Juli 1953.
Dengan demikian, kalau saja ada
perpustakaan, maka komunitas pembaca seperti itu ibarat murbaut bertemu sekrup.
Komunitas pembaca buku seperti itu sebetulnya dapat dibangun setelah ada
perpustakaan.
Daftar Pustaka
Anwar M. 2011. Membangun pustakawan yang professional dalam
melayani masyarakat. Makassar : JUPITER
Vol. IX (2) Maret 2011 : p.
113-119.
Blok, Fatmaambasari’s. 2011. Organisasi koperasi , 31
Desember 2010 . Dikutif Dalam internet pada tanggal 11 Maret 2011.
Delly H., Dadang . Dr.M.Si (2005) Strategi Dinas Pendidikan
dalam meningkatkan budaya baca masyarakat. Bandung : Ikatan Pustakawan
Indonesia (IPI) Daerah Jawa Barat
KPRI-Kabupaten Maros. Laporan pertanggung jawaban pengurus
dan pengawas pusat koperasi pegawai Republik Indonesia (PKPRI) Kabupaten Maros
RAT ke XXVIII tahun buku 2010 pada tgl 3 Januari 2011. Maros : KPRI Kabupaten
Maros.
Tambunan, Tulus; dan Anik, Chairulhadi M. 2009. Perkembangan
koperasi di Indonesia dalam era globalisasi ekonomi dan liberalisasi
perdagangan dunia. Forum Ekonomi Indonesia. Jakarta : Center for Industry, SME
& Business Competition Studies University of Trisakti
0 komentar:
Posting Komentar