Strategi Membangun Perpustakaan
Digital
Drs. Anwar, MM
Penasehat Komite SMKN I Lau Maros
Pendahuluan
Kemajuan teknologi
informasi telah memunculkan perpustakaan dalam bentuk baru, yaitu
perpustakaan digital. Oleh karena itu, maka pengelola perpustakaan yang
memerlukan strategi pemecahan yang dapat diterapkan dalam dunia nyata. Melalui
tulisan ini, penulis bermaksud untuk membahas tentang bagaimana strategi
membangun perpustakaan digital. Perpustakaan digital merupakan tempat
penyimpanan koleksi referensi digital seperti jurnal elektronik dan database
informasi (Stevenson dan Collin, 2006:57). Saffady dalam Saleh (2010:3)
perpustakaan digital merupakan perpustakaan yang mengelola semua atau sebagian
yang substansi dari koleksi-koleksinya dalam bentuk komputerisasi sebagai
bentuk alternatif, suplemen atau pelengkap terhadap cetakan konvensional dalam
bentuk mikro material yang saat ini didominasi koleksi perpustakaan.
Pembangunan perpustakaan digital tidak hanya berhenti pada penyediaan koleksi digital
beserta infrastruktur pendukungnya. Pustakawan sebagai pengelola perpustakaan
digital juga perlu memperhatikan isu-isu terkait perpustakaan digital. Beberapa
isu seperti preservasi digital, hak cipta, plagiarisme, dan kesiapan SDM juga
perlu diperhatikan. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai langkah-langkah
pembangunan perpustakaan digital serta isu-isu yang terkait seperti yang telah
disebutkan di atas.
Dalam
hal ini, perpustakaan berusaha untuk berbagi informasi kepada para pemustaka
yang membutuhkan. Dalam kasus di atas, pustakawan berfungsi sebagai penyaring.
Pustakawan memiliki tugas untuk menyeleksi artikel mana yang akan disetujui
untuk ditetapkan sebagai koleksi digital yang akan ditampilkan. Selain itu,
pustakawan juga bertugas untuk melengkapi koleksi digital tersebut dengan
metadata yang sesuai. Langkah selanjutnya adalah menentukan requirement
specification (Tedd dan Large, 2005:193-195). Salah satu hal yang perlu
dilakukan dalam tahap ini adalah menentukan siapa pengguna dari perpustakaan
digital yang akan dibangun. Penentuan ini sangat penting dikarenakan
masing-masing pengguna akan memiliki kebutuhan informais yang berbeda.
Masing-masing
pemustaka yang mengunjungi perpustakaan digital dapat berinteraksi satu sama
lain, termasuk dengan pustakawan. Interaksi antar pemustaka diwujudkan melalui
fasilitas tagging, review, komentar, like. Selain itu, antar pemustaka dapat
berkomunikasi melalui shoutmix dan forum online yang akan disediakan. Sedangkan
interaksi dengan pustakawan diwujudkan melalui fasilitas buku tamu dan
online chat.
Selain berinteraksi, pemustaka juga berperan sebagai produsen koleksi digital. Pengadaan koleksi digital tidak hanya berasal dari proses digitasi ataupun dari koleksi digital yang telah dimiliki oleh pustakawan saja. Pemustaka dapat ikut berpartisipasi dalam menyediakan informasi digital yang sesuai dengan visi dan misi perpustakaan. Pemustaka diberi kewenangan untuk mengunggah koleksi digital yang mereka miliki. Hal ini dilakukan, selain untuk mempermudah perolehan koleksi digital, juga untuk mengantisipasi kondisi tertentu yang menyebabkan pemilik koleksi digital tidak dapat menyerahkan koleksi yang mereka miliki ke perpustakaan.
Tidak jarang para dosen ataupun peneliti yang memiliki artikel atau hasil penelitian yang menarik. Namun, karena satu dan lain hal, mereka tidak memiliki waktu untuk menyerahkan tulisan mereka ke perpustakaan. Hal ini menyebabkan perpustakaan menjadi terhambat dalam proses pengadaan koleksi. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menghambat proses pengadaan koleksi digital. Oleh karena itu, dengan adanya fasilitas unggah secara mandiri, diharapkan para peneliti ataupun dosen yang memiliki artikel yang menarik dapat mengunggah tulisan mereka tanpa harus datang ke perpustakaan.Selain itu, pada tahap ini juga perlu ditentukan tools apa saja yang perlu ada pada perpustakaan digital nantinya. Melihat perencanaan di atas, selain menu pencarian dan unduh koleksi digital, maka beberapa tools seperti registrasi, login, komentar, suggestion, tagging, unggah dokumen, unduh dokumen, dan shoutmix perlu disediakan.
Selain berinteraksi, pemustaka juga berperan sebagai produsen koleksi digital. Pengadaan koleksi digital tidak hanya berasal dari proses digitasi ataupun dari koleksi digital yang telah dimiliki oleh pustakawan saja. Pemustaka dapat ikut berpartisipasi dalam menyediakan informasi digital yang sesuai dengan visi dan misi perpustakaan. Pemustaka diberi kewenangan untuk mengunggah koleksi digital yang mereka miliki. Hal ini dilakukan, selain untuk mempermudah perolehan koleksi digital, juga untuk mengantisipasi kondisi tertentu yang menyebabkan pemilik koleksi digital tidak dapat menyerahkan koleksi yang mereka miliki ke perpustakaan.
Tidak jarang para dosen ataupun peneliti yang memiliki artikel atau hasil penelitian yang menarik. Namun, karena satu dan lain hal, mereka tidak memiliki waktu untuk menyerahkan tulisan mereka ke perpustakaan. Hal ini menyebabkan perpustakaan menjadi terhambat dalam proses pengadaan koleksi. Secara tidak langsung, hal tersebut juga akan menghambat proses pengadaan koleksi digital. Oleh karena itu, dengan adanya fasilitas unggah secara mandiri, diharapkan para peneliti ataupun dosen yang memiliki artikel yang menarik dapat mengunggah tulisan mereka tanpa harus datang ke perpustakaan.Selain itu, pada tahap ini juga perlu ditentukan tools apa saja yang perlu ada pada perpustakaan digital nantinya. Melihat perencanaan di atas, selain menu pencarian dan unduh koleksi digital, maka beberapa tools seperti registrasi, login, komentar, suggestion, tagging, unggah dokumen, unduh dokumen, dan shoutmix perlu disediakan.
Teknologi digital
Yang dimaksud dengan teknologi
digital adalah semua teknologi berbasis binary digit. Yaitu teknologi
yang menggunakan nilai digit nol dan satu untuk menghadirkan sinyal atau
informasi seperti pada televisi digital misalnya. Juga pada video
game, kamera video, pemutar musik, telepon seluler, dan komputer.
Internet jelas adalah teknologi digital. Secara umum, “digital” mengacu
kepada teknologi yang melibatkan, atau berkaitan dengan, teknologi komputer.
Prevalensi pemakaian teknologi-teknologi digital dalam suatu negeri menjadi
salah satu pertimbangan untuk menentukan tahun kelahiran populasi pribumi
digital pertama negeri tersebut. Syarat lainnya adalah, teknologi
dimaksud telah merasuki kehidupan khalayak banyak dan digunakan secara
interaktif antara pemakai yang satu dengan yang lain. Prevalensi
pemanfaatan teknologi digital yang interaktif ini menjadi prasyarat
terbentuknya budaya baru yang menjadi penanda pribumi digital. Budaya adalah
hasil interaksi antarmanusia. Pribumi digital sebagai suatu kelompok dengan
budaya tersendiri adalah hasil interaksi antarpemakai teknologi digital. Dengan
demikian, “interaksi” menjadi prasyarat penting bagi pembentukan
pribumi digital. Gadget-gadget digital seperti kamera digital, pemutar musik
digital, dan e-reader secara independen tidak menciptakan budaya
baru yang menjadi pembeda pribumi digital dari yang bukan. Benda-benda itu
hanya menjadi bagian dari pembentukan pribumi digital sebagai suatu
budaya karena ada interaksi antarpemakainya. Interaksi tersebut
menggunakan wadah digital bernama Internet. Internet menjadi sarana
sentral dalam pembentukan populasi pribumi digital. Dengan demikian, prevalensi
pemakaian Internet (Internet penetration) menjadi indikator utama dalam
menetapkan tahun permulaan lahirnya populasi pribumi digital, di negaeri lain
dan di Indonesia.
Untuk mencegah hal itu tidak
sampai terjadi, pustakawan dari populasi pendatang digital harus memahami
sifat-sifat pustakawan dari populasi pribumi digital untuk kemudian menekan
sifat-sifat yang berdampak negatif dan merangsang sifat-sifat yang berdampak
positif terhadap kepustakawanan.Dari sejumlah sifat-sifat pribumi digital
uraian Palfrey & Gasser, sifat-sifat yang paling berimplikasi
terhadap kepustakawanan menurut saya adalah masalah penyamaran identitas (dalam
dunia maya), keamanan (informasi), masalah privacy, plagiarism,
sifat-sifat innovator, agressor, dan activist, selain masalah mutu
dan pembajakan yang sudah disebutkan. Sebaliknya, pustakawan dari populasi
pribumi digital perlu memahami pustakawan dari populasi pendatang digital.
Pribumi digital memiliki kecakapan digital sedangkan pendatang digital memiliki
kebijaksanaan layanan informasi (information service wisdom) yang menghasilkan
visi yang lebih luas, jauh, dan holistik tentang pengembangan layanan
perpustakaan.
Menggabungkan kecakapan
digital dengan informataion service wisdom akan menciptakan
kepustakawanan transisional (transtitional librarianship) yang tepat arah.
Yakni kepustakawanan yang tidak mendadak meninggalkan pemustaka dari populasi
pendatang digital ketika mulai merangkul pemustaka dari populasi pribumi
digital. Setelah mempertimbangkan
beberapa hal di atas dan menentukan aplikasi mana yang akan digunakan, tahap
selanjutnya adalah proses instalasi (Tedd dan Large, 2005:197-200). Tahap ini
tidak hanya berhenti ketika aplikasi perpustakaan digital telah berhasil
diinstal. Proses penting yang tidak dapat dilupakan adalah training. Pustakawan
selaku pengelola perpustakaan digital perlu diajarkan bagaimana cara
menggunakan perpustakaan digital yang telah disediakan. Selain itu, pemustaka
juga perlu diajarkan bagaimana menggunakan dan mengakses koleksi perpustakaan
digital. Proses dokumentasi juga masuk ke dalam tahap instalasi. Untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan proses dalam menjalankan perpustakaan
digital, maka perlu adanya manual yang berfungsi sebagai panduan. Proses
terpenting dalam tahap ini adalah backup file, database, website, dan software
secara berkala. Beberapa pengelola perpustakaan sering melupakan proses backup
yang berakibat pada hilangnya data-data penting ketika terjadi suatu kerusakan
pada perpustakaan digital. Oleh karena itu, sebaiknya perlu ditentukan jadwal
rutin backup data pada perpustakaan digital. Selain proses backup, masalah
update software juga perlu diperhatikan. Beberapa vendor, baik feeware maupun
freeware melakukan pembaharuan terhadap software yang mereka hasilkan. Oleh
karena itu, pengelola perpustakaan digital perlu tahu kapan dan apakah ada
update software terbaru sehingga dapat diaplikasikan pada perpustakaan digital
yang mereka kelola.Tahap terakhir adalah proses evaluasi (Tedd dan Large,
2005:202). Tahap ini penting dilakukan untuk menjaga stabilitas berjalannya
perpustakaan digital. Beberapa teknik evaluasi dapat dilakukan seperti
berdasarkan pendapat pengguna ataupun melihat catatan transaksi yang dilakukan
oleh pemustaka.
Membangun Perpustakaan digital
Fokus utama dalam membangunan perpustakaan digital adalah
untuk memperbaiki akses terhadap informasi dan koleksi perpustakaan (Tedd dan
Large, 2005:210). Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan
perpustakaan digital adalah preservasi digital. Melalui preservasi digital,
maka diharapkan kebertahanan koleksi digital dapat terjamin.
Untuk menjamin keberadaan koleksi digital agar dapat diakses setiap saat, tidak jarang pengelola perpustakaan perlu menyediakan beberapa format yang berbeda, yaitu format master dan turunannya (Pendit, 2009:116). Misalnya, dokumen dalam bentuk tercetak dipindai dalam bentuk gambar digital. Hasil pemindaian tersebut disimpan dalam format TIFF. Hal ini dikarenakan TIFF memiliki resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan format gambar lainnya. Nantinya format inilah yang akan disimpan dan dijadikan sebagai master digital.
Selanjutnya, pengelola perpustakaan digital dapat menurunkan format TIFF ke dalam format JPEG. Format inilah yang nantinya dapat diunggah oleh pemustaka. Pemilihan format ini dikarenakan JPEG cenderung memerlukan kapasitas penyimpanan yang lebih kecil dibandingkan dengan TIFF sehingga dapat mempercepat akses oleh pemustaka. Format lain yang dapat dipilih oleh pustakawan adalah format teks. Sebelum disajikan untuk pemustaka, file master hasil pemindaian terlebih dahulu dirubah menggunakan Optical Character Recognation (OCR) ke dalam bentuk dokumen teks. Selanjutnya, dokumen tersebut dapat diturunkan dalam bentuk PDF atau dapat langsung diunggah ke perpustakaan digital.
Untuk menjamin keberadaan koleksi digital agar dapat diakses setiap saat, tidak jarang pengelola perpustakaan perlu menyediakan beberapa format yang berbeda, yaitu format master dan turunannya (Pendit, 2009:116). Misalnya, dokumen dalam bentuk tercetak dipindai dalam bentuk gambar digital. Hasil pemindaian tersebut disimpan dalam format TIFF. Hal ini dikarenakan TIFF memiliki resolusi yang lebih baik dibandingkan dengan format gambar lainnya. Nantinya format inilah yang akan disimpan dan dijadikan sebagai master digital.
Selanjutnya, pengelola perpustakaan digital dapat menurunkan format TIFF ke dalam format JPEG. Format inilah yang nantinya dapat diunggah oleh pemustaka. Pemilihan format ini dikarenakan JPEG cenderung memerlukan kapasitas penyimpanan yang lebih kecil dibandingkan dengan TIFF sehingga dapat mempercepat akses oleh pemustaka. Format lain yang dapat dipilih oleh pustakawan adalah format teks. Sebelum disajikan untuk pemustaka, file master hasil pemindaian terlebih dahulu dirubah menggunakan Optical Character Recognation (OCR) ke dalam bentuk dokumen teks. Selanjutnya, dokumen tersebut dapat diturunkan dalam bentuk PDF atau dapat langsung diunggah ke perpustakaan digital.
Hal penting yang perlu dilakukan dalam rangka preservasi
digital adalah proses backup. Beberapa kejadian seperti hilangnya data yang
menyebabkan terhentinya pross pelayanan terjadi akibat kelalaian pengelola
perpustakaan dalam membackup data. Oleh karena itu, proses backup perlu
dilakukan secara berkala. Dengan demikian, terhambatnya pelayanan akibat
kehilangan data dapat segera diatasi. Hal ini dilakukan untuk mempertegas
pemberlakuan hak cipta pada dokumen digital yang bersangkutan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perhatian perpustakaan
mengenai siapa pemegang hak cipta suatu dokumen digital masih minim. Hal
tersebut menyebabkan dokumen digital yang telah dipublikasikan tidak memiliki
pemegang hak cipta yang jelas. Secara tidak langsung, kondisi ini juga akan
mendukung terjadinya pelanggaran hak cipta.Untuk itu, perpustakaan digital
perlu mencantumkan pernyataan hak cipta dalam setiap dokumen digital yang
mereka publikasikan. Dalam hal ini, terdapat beberapa pernyataan hak cipta yang
dapat dicantumkan (Schlosser, 2009:378-381), yaitu sebagai berikut:
1.
Pernyataan kepemilikan dokumen. Pernyataan ini mengidentifikasikan siapa
pemilik sekaligus pemegang hak cipta suatu dokumen digital. Pernyataan ini
biasanya diwujudkan dengan kalimat ‘© [nama pemegang hak cipta]’.
2.
Pernyataan kepemilikan hak cipta yang samar-samar. Pernyataan ini pada dasarnya
sama dengan jenis pernyataan pada poin pertama, namun tidak menyebutkan secara
langsung siapa pemilik dokumen digital tersebut. Pernyataan ini biasanya
diwujudkan dengan kalimat ‘Hak cipta berada pada pemegang hak cipta yang asli’
atau ‘[nama institusi] hanya memiliki hak cipta terhadap dokumen digital saja’.
3.
Pernyataan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pernyataan ini
menjelaskan mengenai hak-hak apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
pemustaka yang mengakses suatu dokumen digital. Pernyataan ini biasanya
diwujudkan dalam kalimat ‘Hak cipta ada pada [nama pemegang hak cipta]. Segala
bentuk penggandaan atau penyebaran melalui email dan atau website tidak
diperbolehkan tanpa ijin tertulis dari pemegang hak cipta. Namun, pengguna
diperbolehkan untuk mencetak, mengunduh, atau mengirim melalui email untuk
penggunaan pribadi’.
4.
Pernyataan yang melindungi perpustakaan dan pemustaka. Hal ini dapat dilakukan
jika tidak terdapat kejelasan mengenai siapa pemegang hak cipta terhadap suatu
dokumen digital. Pernyataan ini
dapat berupa kalimat ‘Perpustakaan tidak memiliki informasi mengenai status hak
cipta terhadap koleksi digital ini, oleh karena itu jika peneliti atau
pemustaka mengetahui pemegang hak cipta sebenarnya dari koleksi ini atau
memiliki pertanyaan mengenai hak cipta terhadap koleksi ini, maka silahkan
hubungi [nama lembaga yang bersangkutan.Masing-masing pernyataan tersebut di
atas berlaku untuk jenis dan status dokumen digital yang berbeda. Perpustakaan
dapat memilih salah satu dari beberapa peryataan hak cipta di atas sesuai
dengan status dokumen digital yang akan mereka publikasikan. Dengan demikian,
diharapkan masalah hak cipta dalam pembangunan perpustakaan digital dapat
terpecahkan. Sumber Daya Manusia. Setelah mengaplikasikan perpustakaan digital, pimpinan
perpustakaan juga perlu memastikan bahwa para pustakawan yang berada di bawah
tanggungjawabnya memiliki kecakapan dalam hal teknologi informasi. Hal yang
menarik dan dapat dicontoh adalah apa yang telah dilakukan oleh UK Public
Libraries. Setelah berhasil membangun perpustakaan digital, pada tahun
2001-2004, lembaga tersebut memfokuskan penggunaan dana yang ada untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang ada (Tedd dan Large, 2005:198). Dalam hal ini, mereka
melakukan beberapa program pelatihan berupa:
· Pelatihan dasar ICT;
· Pemahaman bagaimana ICT dapat membantu pekerjaan pustakawan;
· Keamanan dan kesehatan dalam penggunaan ICT;
· Mengetahui bagaimana cara menemukan sesuatu untuk
kepentingan pemustaka;
· Menggunakan ICT untuk mensupport pemustaka dalam
mengembangkan kegiatan mereka;
· Menggunakan ICT untuk mensupport pemustaka untuk melakukan
pembelakaran yang efektif;
· Menjamin adanya manajemen ICT yang efektif di perpustakaan;
· Bagaimana cara penggunaan ICT untuk memperbaiki
profesionalitas dan untuk mengurangi beban birokrasi dan administrasi.
Selain
beberapa hal di atas, juga diperlukan beberapa pengetahuan tambahan untuk
masing-masing pustakawan seperti:
· Net Navigator–kemampuan dalam hal advanced searching,
validasi website, dan menggunakan sinyal-sinyal pelayanan;
· Information Technology Gatekeeper–kemampuan desain web,
mengunggah dan memperbaharui informasi, menseting dan mengelola database;
· Information Consultant–menganalisa dan mendiagnosa kebutuhan
pemustaka, sadar akan sumber-sumber informasi, membangun hubungan dengan
penyedia informasi lain, desain informasi dan kemampuan presentasi;
· Information Manager–perencanaan strategis, memahami isu-isu
digitasi, hak cipta, dan hak kekayaan intelektual lainnya;
· Educator–mendesain dan mengembangkan pelatihan dan materi
pelatihan untuk staff lain dan pemustaka (Tedd dan Large, 2005:198).
Penutup
Membangun perpustakaan digital perlu wawasan yang luas dan menguasai TI, sehingga tidak hanya terhenti pada proses implementasi saja. Proses evaluasi juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai isu-isu terkait dengan pembangunan perpustakaan digital. Di satu sisi pustakawan perlu mempersiapkan perpustakaan masa depan yang berorientasi kepada pemustaka pribumi digital yang jumlahnya tumbuh pesat. Di sisi lain, mereka juga masih harus memelihara perpustakaan yang berorientasi kepada pemustaka pendatang digital karena jumlah mereka masih banyak. Inilah tantangan bagi pustakawan untuk menjaga keseimbangan antara konservatisme dan progresivisme dalam pengembangan perpustakaan di masa transisi menuju kepustakawanan digital.
Membangun perpustakaan digital perlu wawasan yang luas dan menguasai TI, sehingga tidak hanya terhenti pada proses implementasi saja. Proses evaluasi juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai isu-isu terkait dengan pembangunan perpustakaan digital. Di satu sisi pustakawan perlu mempersiapkan perpustakaan masa depan yang berorientasi kepada pemustaka pribumi digital yang jumlahnya tumbuh pesat. Di sisi lain, mereka juga masih harus memelihara perpustakaan yang berorientasi kepada pemustaka pendatang digital karena jumlah mereka masih banyak. Inilah tantangan bagi pustakawan untuk menjaga keseimbangan antara konservatisme dan progresivisme dalam pengembangan perpustakaan di masa transisi menuju kepustakawanan digital.
Daftar Pustaka
Arianto,
M. Solihin. 2008. “Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Pengembangan local
content berbasis open source” Makalah disampaikan pada Workshop Pengembangan
Perpustakaan pada Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI, 2 - 4
Desember 2008, Cimanggis, Depok.
Harris,
Lesley Ellen. 2004. "Colleges, Code, and Copyright. (cover story)."
Information Today 21, no. 9 (October 2004): 1-30. Library, Information Science
& Technology Abstracts, EBSCOhost (Diakses pada 17 Juli 2011).
Mafar, Fiqru. 2012. Isu StrategI Pembangunan Perpustakaan Digital:
Majalah Visi Pustaka,
Vol.14 No.1 - April 2012.
Simanjunta, Melling.
2012. Pertambahan Pesat Populasi Pribumi
Digital Indonesia dan Implikasinya Terhadap Kepustakawanan Pendatang Digital. Majalah Visi Pustaka Vol.14 No.1 -
April 2012.
Pendit, Putu Laxman. 2009.
Perpustakaan Digital: Kesinambungan dan Dinamika. Jakarta: Cita Karya Karsa.
Presiden
Republik Indonesia. 2002. “Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta”
dalam http://www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=5011/ diakses pada 20 Juli 2011 pukul 08:52 WIB.
Saleh,
Abdul Rahman. 2010. Membangun Perpustakaan Digital: Step by step. Jakarta:
Sagung Seto.
Schlosser,
Melanie. 2009. “Unless Otherwise Indicated: Survey of copyright statements on
digital library collections”. Dalam College & Research Libraries, Vol. 70
Issue 4 Juli 2009.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
0 komentar:
Posting Komentar